Kiri Islam Hasan Hanafi
OLEH: ZAINUDDIN
1.
Pendahuluan
Ketika kita mendengar kata kiri,
mungkin di dalam benak kita akan segera muncul lawan dari kata itu, yakni kanan
dan yang lebih ironi lagi ketika kita berpikir bahwa kiri adalah kalimat yang
berkonotasi pada sesuatu yang tidak baik. Kiri dan kanan diberbagai lapangan
kehidupan merupakan kenyataan yang tidak bisa dinafikan. Di area politik
misalnya, dua kata itu selalu mengemuka menjadi dua k utub yang bersebrangan.
Di bidang ilmu sosial maupun kehidupan keseharian, dua kata ini sering tampil
sebagai dua kekeuatan yang berlawanan.tidak terlalu sulit menemukan kiri dan
kanan dikehidupan kita, yakni kiri dan kanan dalam pengertian dua haluan atau
front kekuatan yang saling bergumul atau berhubungan secaradialektis.
Kalau kita perhatikan ketika kata
kiri digandengkan dengan kata Islam, muncul sejumlah pertanyaan, apakah yang
dimaksud dengan pengertian kiri Islam Hasan Hanafi[1]
itu? Dan Islam seperti apa yang dimaksud didalamnya apakah Islam sebgai ajaran
kemanusiaan–universal di dalamnya ataukah pemikiran Islam. Oleh karena, untuk
menjawab pertanyaan serperti itu, maka dengan beberapa lembar makalah ini,
penulis ingin mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
2.
Pembahasan
A.
Sekilas
beografi dan sosio kultural Hasan Hanafi
Memahami pemikiran
seseorang, tidak bisa lepas dari perspektif historis kelhiran pemikiran beserta
ruang lingkup yang mempengaruhinya. Ada beberapa faktor yang turut terlibat
dalam memunculkan karateristik pemikiran seseorang.[2]
Menurut Anton Bakker dan Charis Zubair, manusia itu makhluk historis, seseorang
berkembang dalam pengalaman dan pikiran, bersam dengan lingkungan dan zamannya.
Oleh karena itu, baik dia sendiri maupun ekspresinya dan bersamaan dengan
lingkup zamannya sendiri harus dilihat menurut perkembangannya.
Itulah sebabnya,
memahami Hanafi, juga tidak bisa dilepaskan dari berbagai faktor yang
mempengaruhi terbentuknya karateristik
dasar pemikirannya. Hasan Hanafi, yang dilahirkan pada 13 Februari 1935 di
Kairo, Mesir, merupakan satu dari sekian doktor dibidang filsafat kontemporer
terkemuka di dunia Islam. Kota Agha Khalil merupakan tempat di mana ia memulai
pendidikan dasar, dan melanjutkan Madrasah Tsnawiyah yang ditempuhnya selama empat
tahun.[3]
Sejak kecil usia muda dia telah tertarik dengan persoalan-persoalan politik
negaranya dan dunia Islam. Hanafi mengamati berbagi pergolakan politik keagamaan
di Mesir; pertarungan sengit antara Ikhwanul Muslimin pimpinan Sayyid Qutb[4]
melawan rezim Jamal Abdul Nasser.
Tempaan pendidikan di
Departemen Filsafat Uneversitas Kairo tahun 1952, mengantarkannya sebagai
seorang sarjan muda bidang filsafat. Studi filsafat semakin menemukan bentuknya
setelah dia memperoleh kesempatan untuk melanjutkan ke jennjang postgreduate
di Uneversitas Sorbronnne, Prancis, selama kurang lebih 10 tahun, 1956-1966.
Studiny di Prancis, memberikan arah baru bagi pemikiran kefilsatan Hasan Hanfi,
terutama pemantapan metodologisnya melalui kuliah-kuliah atau pun bacaan karya
orientalis.[5]
Dengan demikian
pergulatan pemikiran Hasan Hanafi pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari
persinggungan dia dengan beberapa pemikir besar Prancis yang menjadi dosennya,
seperti Jean Gitton, Paul Ricour, dan Juga Edmund Hussel. Bahkan sepuluh tahun
hidup belajar di Prancis adalah suatu rentang waktu cukup lama untuk bisa
memahami tradisi pemikiran Barat dengan baik, di mana waktu itu sangat akrab
dengan filsafat poststruktualisme[6],
fenomenologi[7]
dan eksistensialisme[8].[9]
Realitas sejarah ini
menjadikan sosok Hasan Hanafi sebagi pemikir yang berpadu dua tradisi
pemikiran. Barat dan Timur (Islam), antara tradisional dan modern. Melalui
perpaduan dua perspektif ini, dia mencoba merespon basis sosialnya yang berupa
kondisi obyektif dunia Timur yang penuh dengan kemiskinan, kebodohan, dan
keterbelakangan, dan kenyataan dunia Barat yang mendomonasi, tidak hanya aspek
poltik, tetapi juga aspek pendidikan, ekonomi dan kultur yang menjadi ancaman
eksternal bagi dunia Islam.
Setting gagasan Hasan
Hanafi pada dasarnya coba diletakkan pada analisis sejarah sosial dan
kekuatan-kekuatan sosial yang melahirkan sejumlah gagasan besar. Perangkat
metodologis yang melahirkan sejumlah gagasan besar. Perangkat metodologis yang
hendak dipakai adalah, meminjam analisis semiotika[10]
sosial, yang di dalamnya dikenal dengan tiga konteks, konteks situasi, kontek
sosial, konteks budaya.[11]
Kemudian sekembalinya ke
Mesir (1975), Hanafi membawa agenda besar semacam proyek peradaban (al
Masyru’ la Hadhary) yang mengusung nama Al- Turats wa- al Tajdid.
Sambil mengajar di Fakultas sastra Kairo, doktor muda muda itu meleburkan diri
ke dalam proses percernaan pemikiran-pemikiran Pan-Arabik. Kajian-kajian
awalnya sangat bersifat ilmiah murni. Mungkin saat itu hanafi mengelaborasi secara
paradigmatik posisi Islam sebagai suatu pandangan hidup dalam kiprah bangsa dan
negara. Sesudahnya, dia mulai bicara tentang keharusan bagi Islam untuk
mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dengan dimensi pembebasan di dalamnya.
Namun
Naskah Al- Turats wa- al Tajdid belum sempat selessai ditulis, karena ia
kemudian ikut aktif dalam gerakan anti pemerintah Presiden Anwar Sadat yang
dinilainya pro Barat dan bersedia untuk berdamai dengan Israel, musuh bebuyutab
baangsa Arab. Keterlibatan Hanafi pada gerakan anti-pemerintah Presiden Anwar
Sadat, menjadikannya dipecat dari universitas Kairo dengan tuduhan menentang
penguasa. Hanafi pun kemudian banyak menulis
di berbagai surat kabar dan majalah.
Baru pada periode yang
terakhir (tahun 80-an sampai 90-an), karya-karya beliau memiliki latar belakang politik yang relatif
lebih stabil di banding masa-masa
sebelumnya. Pada periode ini Hanafi menulis Al- Turats wa- al Tajdid,
yang memuat landasan teoritis bagi dasar-dasar pembaharuan dan
langkah-langkahnya kemudian dia menulis Al-Yasar al-Islami,
semacam’’manifesto politik’’ dan seruan ideologis.[12]
B.
Pengertian, Latar Belakang
Kiri Islam dan tujuannya
a.
Pengertian
Kiri Islam adalah kelanjutan Al-Urwa al-Wutsqa dan Al-Manar
dilihat dari keterkaitannya dengan agenda Islam Al-Afghani[13]:
yaitu melawan kolonialisme dan keterbelakangan, menyerukan kebebasan dan
keadilan sosial serta mempersatukan kaum muslimin ke dalam blok Islam atau blok
Timur. Dengan demikian kiri merupakn penyempurnaan agenda modern Islam yang
mengungkapkan realitas dan tendensi sosial poltik kaum muslimin, ia tidak
muncul dari ruang hampa dan bukan sesuatu yang mengada-ada dalam gerakan Islam
kendati pun ia muncul di tengah-tengah kekosongan stelah Al-Afghani mengalami
krisis dan terdistorsi di dalam Al-Manar.[14]
Nama Kiri Islam menurut
Hanafi menjelaskan realitas kekinian ummat Islam dunia. Karena itu terminologi
Kiri Islam adalah terminologi akademis. Hanafi menolak asumsi bahwa dalm Islam
tidak ada ‘Kanan dan Kiri’, yang ada hanya Islam. Pandangan itu menurutnya naif
dan mengacu pada prinsip, atau sesuatu yang berada di luar realitas historis
umat Islam. Jadi berwatak a-historis. Pandangan itu tidak bertitik tolak pada
realita sosial budaya umat masa lampau dan masa kini. Ia menegaskan bila kita
berfikir empiris maka kita akan melihat umat Islam berada dalam pertentangan
kepentingan antara kelompok ‘Kiri’ (tertindas) dan ‘Kanan’ (penindas).
Apa makna Kiri versi Hanafi? Menurut Hanafi, mereka yang anti
‘Kiri’ ingin mempertahnkan statusquo politik, sosial, budaya, dan
realitas sistem kelas yang repressif terhadap masyarakat Islam.[15]
Dalam pergerakan Islam, Kiri Islam bukanlah suatu yang bid’ah, walaupun untuk
kali pertama mungkin tampak asing setelah agenda dan gagasan-gagasan
revolusioner yang pernah dikumandangkan oleh Al-Afghani di dalam Al-Urwa
al-Wutsqa tidak lagi begitu nyaring terdengar . Bahkan penerus Al-Urwa
al-Wutsqa, yaitu Al-Manar, cendrung menjadi jurnal dakwah yang berisi
nasihat dan bimbingan mental.
Ciri menonjol Kiri Islam
lainnya adalah slogan-slogannya yang antusias revolusioner, radikal dan memihak
kepada masa tertindas. Slogan-slogan itu menurut Hanafi dapat ditemukan dalam
teks-teks Al-Qur’an dan tradisi Islam klasik. Slogan ‘Kiri’ menggugah kesadaran
massa Muslim untuk bergerak dan menggugah kesadaran. Terminologi ‘Kiri’
menyadarkan umat Islam berada dalam situasi ketertindasan dan keterbelakangan.
b.
Latar Belakang dan Tujuan
Kiri Islam lahir setelah
melihat berbagai kegagalan dalam metode pemberuan masyarakat dunia Timur
(Islam) dalam beberapa generasi dalam mengentaskan keterbelakangan dan
kemiskinan. Hal ini disebabkan karena: Pertama,
berbagai tendensi keagamaan yang terkooptasi kekuasaan yang menjadikan
agama (Islam) hanya sekadar ritus dan kepercayaan-kepercayaan ukhrawi. Padahal,
realitas Islam bukan merupakan representasi dari sistem Islam, sehingga gebyar
ritus-ritus dan perayaan-perayaan tersebut justru menjadi topeng yang
menyembunyikan wajah dominasi tradisi Barat dan kapitalisme. Sementara
kecendrungan keagamaan yang tidak terkooptasi, terjebek dalam fanatisme
primordial, kejumudan dan berorientasi kekuasaan.
Kedua, liberalisme yang pernah berkuasa sebelum masa-masa revolusi
berakhir, ternyata didekte oleh kebudayaan barat, berperilaku seperti penguasa
kolonial dan hanya melayani kelas-kelas elite yang menguasai aset negara;
ketiga, Marxisme[16]
yang berpotensi mewujudkan keadilan sosial dan menentang kolonialisme, ternyat
tidak diikuti dengan pembebasan rakyat dan penembangan khazanah mereka sebagai
energi untuk mewujudkan tujuan-tujuan kemerdekaan nasional; dan keempat, nasionalisme
revolusioner yang berhasil melakukan perubahan-perubahan radikal dalam sistem politik
dan ekonomi, ternyata tidak berumur lama, banyak mengandung kontradiksi dan
tidak mempengaruhi kesadaran mayoritas rakyat. Itulah sebabnya, kiri Islam dimunculkan
dalam rangka merealisasikan tujuan-tujuan pergerakan nasional dan
prinsip-prinsip revolusi sosialis dengan cara mengembangkan khazanah
intelektual klasik yang berdimensikan revolusioner dan berpijak pada kesadaran
rakyat.[17]
Menurut Suheimi timbulnya
pemikiran Kiri Islam Hanafi juga dipengaruhi oleh pengamatannya terhadap
gerakan-gerakan Islam revolusioner di Sudan ( Revolusi Al-Mahdi), Libya
(Revolusi Sanusiyah) Al-Jazair (Revolusi Islam), Maroko dan tentunya di Mesir
(Revolusi jihad Ikhwan) sendiri. Khusus tentang gagasan Islam di Mesir ia
menaruh perhatian besar terhadap pemikiran dan aktivisme Sayyid Qutb, pemikiran
dan aktivisme disebutnya ‘kiri karena tokoh ini menggalang revolusi melawan
kolonialisme-imprealisme barat dan antek-anteknya di Mesir. Qutb juga
menyerukan keadilan sosial (al-‘adalah).[18]
C. Kiri Islam dan reaktualisasi
Khazanah Klasik
Kiri
Islam juga berupaya merekontruksi khazanah klasik Islam. Tujuannya adalah untuk
membenagun kembali paradigma ilmu pengetahuan Islam setelah sekian waktu luput
dari agenda kehidupan umat Islam. Upaya ke arah itu dinamai Tajdid Turast (Reaktulisasi
Khazanah kelmuan Islam) dan cara-cara yang mesti ditempuh dalam upaya ini
antara lain:
1. Membuat
formulasi yang tepat untuk mengidentifikasi cabang-cabang ilmu pengetahuan yang
mungkin terdapat dari teks-teks agama dengan cara pemahaman lewat hipotesa dan
uji coba empiris terhadap-terhadap nas-nas yang pengertian lahirnya jelas (muhkamah)
atau lewat penafsiran linguistik dan
atau penafsiran perspektif atas nas-nas yang pengertian lahirnya tidak jelas (mutasyabih).
pemefsiran-penafsiran itu dilakukan sambil memperhatiakn konteks serta situasi
waktu yang melingkupi atau menjadi sebab turunnya teks-teks tersebut.
Upaya-upaya semacam ini dapat kita namai dengan logika Tafsir’’ (Mantiq
al-Tafsir) Metode tersenbut juga
dapat dinamai dengan metode hermeneutik.[19]
2. Menunjukkan proses kerja akal
nalar yang menentukan karakteristik fenomena pemikiran yang berada di balik
wujud bangun ilmu pengetahuan klasik. Prose ini merupakan suatu aktifitas akal
yang terdapat pada setiap peradapan yang berasal dari sumber pokoknya yaitu
wahyu. Dengan pengetahuan tentang hal ini kita dapat merekonstruksi ilmu-ilmu
pengetahuan klasik- yang kini sudah beralih nama menjadi Turast, menjadi
ilmu-ilmu baru sejalan dengan perkembangan kekinian, sambil tetap melestarikan
semangat yang dikandung oleh turats-turast yang
direkonstruksi tersebut. Langkah ini dapat dinamai dengan ‘’Logika
Fenomena’’(Mantiq al Zhawahir).[20]
3.
Memilah unsur-unsur mana yang positif dan mana yang negatif dalam setiap
cabang ilmu pengetahuan, seraya memahami kerangka teoritis yang dikandung oleh
masing-masing unsur, baik yang positif maupun yang negatif. Unsur yang negatif
pun mesti dipelajari dan dipahami sumber-sumber kekeliruannya, sebab-sebab
kelahirannya, sejauh mana unsur tersebut manjauh dari kebenaran yang
diharapkan. Jika telah diketahui mana yang positif dan mana yang negatif,
selanjutnya dipilih dan diambil unsur-unsur yang positif dari semuanya. Cara
itu dapat kita namai dengan logika penilaian’’ (Mantiq al-Taqyim).
4.
Mentransformasi semua kerangka teoritis yang telah disebutkan terdahulu,
setelah sebelumnya dikritis dan disarikan sejalan dengan kerangka teoritis
medern agar memuat dimensi-demensi baru, baik dalam aspek kebehasaannya yang
merupakan alat pengungkap isi yang dikandung, maupun dalam hal kemempuannya,
dalam menyikapi dan menganalisis persoalan-persoalan baru, serta dalam hal
kemampuannya memberi materi-meteri pemikiran bagi realitas baru yang berkembang.
Langkah terakhir ini dapat kita namai dengan ‘’logika pembaruan’’ (Mantiq
al-Tajdid).[21]
Dengan
demikian reaktualisasi tradisi keilmuan Islam berarti mengaktualkan kembali
tradisi keilmuan Islam. Dengan hal tersebut, berati kita selama ini tidak
aktual atau tidak sejalan dengan kenyataan yang ada sehingga diperlukan
upaya-upaya untuk menjadikannya real
melalui modifikasi atau reformasi.[22]
Dari
uraian di atas menurut penulis, semua itu terangkum dalam sebuah ungkapan:
المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد
الأصلح
Melestarikan
budaya/metodologi/sesuatu yang kuno tetapi masih relevan dan mengambil
sesuatu/metodologi/terobosan baru/langkah inovatif.
Dan menurut penulis الأخذ saja tidak
cukup kalau belum ada النقد
dalam artian menganalis sesuatu yang baru tersebut kemudian الايجاد mengadakan temuan baru yang releven sesuai dengan zaman ini. Itulah semboyan yang selalu
disampaikan oleh muballigh ahlussunnah wal jama'ah , terus terang penulis belum
mengetahui secara pasti asal muasal kalimat tersebut, apakah hadits/atsar/qaul
atau pepatah arab saja.
Hal di atas juga
diperkuat oleh Azizi yang menurutnya ada beberapa tahapan-tahapan yang harus
dilakukan untuk mengembalikan kodrat hukum Islam yakni :
Pertama hukum Islam yang merupakan hasil karya fuqaha masa lalu yang
selama ini ditempatkan di satu sisi sebagai doktrin hendaknya ditempatkan pada
proporsi yang sebenarnya. Sehingga doktrin yang mungkin dianggap “sakral”
tersebut menjadi sesuatu yang “profan” dapat disentuh akal dan
diinterpretasi ulang.
Kedua melihat hasil ijtihad tersebut secara kontekstual, sehingga
menjadi lebih hidup dan mempunyai nilai. Berbicara mengenai hasil ijtihad,
meskipun tetap disebut hukum Islam tentu tidak lepas dari pengaruh subjektivitas
pelaku ijtihad berserta lingkungan yang melingkupinya. Oleh karena itu, usaha
kontekstualisasi terhadap hasil ijtihad ulama masa lalu mestinya menjadi suatu
keharusan. Kajian seperti ini tidak cukup hanya dengan membaca teks dari hasil
ijtihad tersebut yang tertulis dalam al-kutub
‘ibrah. Namun harus dibarengi dengan kajian yang serius terhadap
aspek sejarah dan sosial yang melingkupi mujtahid ketika itu serta kajian
metodologi yang digunakan dalam menghasilkan keputusan hukum Islam. Dalam hal
ini, pendekatan sejarah, terlebih sejarah sosial dan sosiologi menjadi sangat
penting. Di samping itu, perlu dikaji tentang sejarah hidup para mujtahid
terutama sekali yang berkaitan dengan pemikiran hukumnya.[23]
Ketiga setelah mampu melakukan kontekstualisasi, barulah akan mampu
mengadakan reaktualisasi. Ini harus dilandasi dengan kemampuan interpretasi
terhadap hasil ijtihad tersebut dan bukan penolakan terhadapnya. Setelah itu
baru dilanjutkan dengan reinterpretasi dan pada waktunya akan ada tuntutan untuk
mereformasi terhadap ajaran pada tataran praktis yang merupakan pemahaman para
mujtahid terhadap wahyu. Di sini berarti harus terjadi historical continuity
dalam mempelajari hokum Islam secara akademik.[24]
Keempat perlunya kajian hukum Islam yang melibatkan disiplin ilmu lain
atau meneliti hukum Islam yang sudah ada dengan menggunakan pendekatan
interdisipliner atau multidisipliner. Ilmu bantu ini mutlak diperlukan dalam
rangka mendekatkan hukum pada konteks yang lebih sesuai dengan situasi dan
kondisi masyarakat sekarang.
D.
Kiri Islam[25]
dan Teologi Pembebasan
Berbicara
Ilmu Tauhid merupakan inti dari seluruh pembahasan tentang ilmu kalam. Maka tak
asing kalau akhirnya ilmu kalam dinamai ilmu tauhid. Pembahasan utama ilmu ini
tak lepas dari itsbat (penetapan) keyakinan kepada Dzat, sifat dan ‘Af’al
(perbuatan), semua milik Allah.
Ketika
Hasan Hanafi membahas ilmu tauhid di dalam buku-bukunya Min al-Aqidah
al-Tsawrah vol II, sebenarnya ia sedang mengajak kita untuk merekonstruksi ilmu
kalam yang selama ini kita terima kalam tradisional. Tujuan utamanya adalah
menformulasikan konsepsi teologi sehingga dapatkondusif menjawab tantangan riil
kemanusiaan universal dan kehidupan kontemporer. Hasan hanafi mengusahakan
suatu formulasi yang mampu meramu kelebihan yang dimiliki oleh kelompok salaf
dan kelompok sekuler, sehingga mengetahui begaimana berbicara dan mengetahui
apa yang dibicarakan artinya ia mengungkapkan suatu suatu kerangka teoritis
yang dengannya kita tahu substansi pembicaraan yang harus disampaikan.[26]
Ilmu
kalam yang acap disebut teologi, sebagiman halnya ilmu-ilmu lain, dapat
berubah-uabh rumusannya. Dalam memulai upayanya merekonstruksi ilmu tauhid agar
menjadi suatu teologi transformatif yang membebaskan, Hasan Hanafi terlebih
dahulu merekonstruksi makna’’kata kunci’’ tauhid itu sendiri, yakni
kalimat’’Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan Aku berbaksi bahwa
Muhammad adalh rasul Allah’’ kalimat itu merupakan titik awal di aman seseorang
dinamakan sebagi penganut ajaran Tauhid (Muwahhid).[27]
Dengan
demikian, kata Hanafi, syahadat tidak hanya berarti berucap atau bersaksi
dengan lisan hampa saja, akan tetapi manusia yang mengucapkannya harus hadir di
tengah-tengah jama’ahny, menyaksiakan zamannya. Ia mesti lantang dan jujur
menyatakan bahwa ada penyakit yang harus disembuhkan, bahwa ada penyelewengan
yang harus diluruskan, bahwa kemiskinan di tengah masyarakat yang kaya, bahwa
da perampasan atas tanah-tanah kaum muslimin, bahwa ada keterbelakangan di
tengah ummat terbaik yang yang dikeluarkan untuk umat manusia.[28]
Syahadah
(kesaksian) dan kata syshida
menyaksikan. Kata ini mengandung makan: informas, peringatan, penyangkalan,
pembekuan, konfirmasi, negasi, bersikap, dan membela kebenaran. Syahadah
berarti melihat kondisi dan perkembangan zaman. Orang yang bersyahadah adalh
orang mempersaksikan zamannya dengan ucapan dan perbuatanny, memusnahkan
kesenjangan antara ide-pikir dan realitas. Menunjukkan jarak antara kalam Allah
dan kondisi obyektif masyarakat . Jika kemudian ia mati dalam memperjuangkan
tujuan-tujuan itu, mak ia mati syahid.[29]
Selain
itu, secara praktis, teologi tidak bisa menjadi pandangan yang benar-benar
hidup yang memberi motivasi tindakan dalam kehidupan konkrit manusia. Sebabnya,
penyusunan teologi tidak didasarkan atas kesadaran murni dan nilai-nilai
perbuatan manusia sehingga muncul keterpecahan antara keimanan teoritik dan
keimanan praktis dalam umat. Pada akhirnya, keterpecahan itu melahirkan
sikap-sikap moral ganda atau sinkretisme kepribadian. Fenomena sinkretik ini tampak
jelas, menurut Hanafi, dengan adanya faham keagamaan dan sekularisme (dalam
kebudayaan), tradisionalisme dan modernisme (dalam peradaban), Timur dan Barat
(dalam politik), konservatisme dan progresivisme (dalam sosial) dan kapitalisme
dan sosialisme (dalam ekonomi).[30]
Karena
menganggap bahwa teologi Islam tidak ilmiah dan tidak membumi, Hanafi
mengajukan konsep baru tentang teologi Islam. Tujuannya untuk menjadikan
teologi tidak sekedar sebagai dogma keagamaan yang kosong, melainkan menjelma
sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan keimanan berfungsi secara
aktual sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia. Karena itu,
gagasan-gagasan Hanafi yang berkaitan dengan teologi berusaha untuk
mentranformulasikan teologi tradisional yang bersifat teosentris menuju
antroposentris, dari Tuhan kepada manusia (bumi), dari tekstual kepada
kontekstual, dari teori kepada tindakan, dan dari takdir menuju kehendak bebas.
Pemikiran ini, minimal, di dasarkan atas dua alasan. Pertama, kebutuhan akan
adanya sebuah ideologi (teologi) yang jelas di tengah pertarungan global antara
berbagai ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru yang bukan hanya bersifat
teoritik tetapi sekaligus praktis dan bisa mewujudkan sebuah gerakan dalam
sejarah.[31].
Untuk
mengatasi kekurangan teologi klasik yang dianggap tidak berkaitan dengan
realitas sosial, Hanafi menawarkan dua teori.
Pertama, analisa
bahasa. Kita tahu, bahasa dan istilah-istilah dalam teologi klasik adalah
warisan nenek moyang dalam bidang teologi yang khas yang seolah-olah sudah
menjadi doktrin yang tidak bisa diganggu gugat. Menurut Hanafi, istilah-istilah
dalam teologi sebenarnya tidak hanya mengarah pada yang transenden dan ghaib,
tetapi juga mengungkap sifat-sifat dan metode keilmuan yang empirik-rasional
(seperti iman, amal dan imamah), yang historis (seperti nubuwwah) dan yang
metafisik (seperti Tuhan dan akhirat).
Kedua, analisa
realitas. Menurut Hanafi, analisa ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang
historis-sosiologis munculnya teologi di masa lalu dan bagaimana pengaruhnya
bagi kehidupan masyarakat atau para penganutnya. Selanjutnya, analisa realitas
berguna untuk menentukan stressing bagi arah dan orentasi teologi kontemporer.[32]
Untuk melandingkan dua usulannya tersebut, Hanafi palingtidak
menggunakan tiga metode berfikir; dialektika, fenomenologi dan hermeunetik.
Dialektika
adalah metode pemikiran yang didasarkan atas asumsi bahwa perkembangan proses
sejarah terjadi lewat konfrontasi dialektis dimana tesis melahirkan antitesis
yang dari situ kemudian melahirkan sintesis. Hanafi menggunakan metode ini
ketika, sebelumnya, menjelaskan tentang sejarah perkembangan pemikiran Islam.
Juga ketika Hanafî berusaha untuk membumikan kalam yang dianggap melangit. Apa
yang dilakukan Hanafi terhadap kalam klasik ini sama sebagaimana yang dilakukan
Marx terhadap pemikiran Hegel. Menurut Marx, pemikiran Hegel berjalan
dikepalanya, maka agar bisa berjalan normal ia harus dijalankandiatas kakinya.[33]Artinya,
kalam klasik yang terlalu theosentrisharus dipindah menjadi persoalan
‘material’ agar bisa berjalan normal. Namun demikian, bukan berarti Hanafi
terpengaruh atau mengikuti metode dialektika Hegel atau Marx. Hanafi menyangkal
jika dikatakan bahwa ia terpengaruh atau menggunakan dialektika Hegel atau
Marx. Menurutnya, apa yangdilakukan semata didasarkan dan diambil dari
khazanahkeilmuan dan realitas sosial muslim sendiri; persoalan kaya-miskin,
atasan-bawahan dan seterusnya yang kebetulan samadengan konsep Hegel maupun
Marx. Hanafi sendiri juga mengkritik secara tajam metode dialektika Marx yang
dinilai gagal memberi arahan kepada kemanusiaan, karena akhirnya yang terjadi
justru totalitarianisme.[34]
Di sini
mungkin ia terilhami oleh inspirator revolosi sosial Iran; Ali Syariati, ketika
dengan metode dialektikanya Syariati menyatakan bahwa manusia adalah syntesa
antara ruh Tuhan (tesa) dan setan (anti-tesa). Fenomenologi adalah sebuah
metode berfikir yang berusaha untuk mencari hakekat sebuat fenomena atau
realitas. Untuk sampai pada tingkat tersebut, menurut Husserl (1859-1938) sang
penggagas metode ini, peneliti harus melalui minamal dua tahapan penyaringan
(reduksi); reduksi fenomenologi dan reduksi eidetis. Pada tahap pertama, atau yang
disebut pula dengan metode apoche, peneliti menyaring atau memberi kurung
terhadap fenomena-fenomena yang dihadapi. Peneliti mulai menyingkirkan
persoalan-persoalan yang dianggap tidak merupakan hakekat dari objek yang
dikaji. Tahap kedua, reduksi adetis, peneliti masuk lebih dalam lagi. Tidak hanya
menyaring yang fenonemal tetapi menyaring intisarinya.[35]
E. Kiri Islam dan Oksidentalisme
Sejak awal Al-Afghani –
bahkan masa-masa perang Salib sampai saat ini, imperialisme tetap merupakan isu
terpenting yang dihadapi oleh dunia Islam. Walaupun dalam berbagai ragam wujud,
namun pada dasarnya imperialisme, menurut Hanafi, adalah ‘’Perang Salib Baru’’.
Di bidang ekonomi, imperialisme[36]
saat ini muncul dalam bentuk korporasi multinasional.
Sementara dalam sektor budaya, imperialisme muncul dalm bentuk pemberatan
sebagi upaya pembunuhan semangat kreativitas bangsa dan pencabutan suatu bangsa
dari akar-akar kesejarahannya.[37]
Salah satu misi Kiri
Islam, seperti dikatakan Hanafi, adalah membengun sistem politik nasional yang
independen, dan mempererat jalinan persahabatan dengan bangsa-bangsa Asia dan
Afrika, yakni bangsa-bangsa Islam. Selain itu juga mendukung gerakan
revolusioner kaum terjajah dan tertindas. Karena seseungguhnya Islam hadir
untuk mereka.[38]
Bagi Hanafi,
imperialisme kultural merupakan budaya paling serius bagi dunia Islam. Barat
ingin melemahkan kultur bangsa-bangsa Islam, lalu membelennggu kemampuan
kreatif mereka, dan akhirnya mengubah kebudayaan mereka begitu rupa menjadi
agar dapat dimasukkan ke dalam ‘’musium
kebudayaan’’ dan mudah untuk didominasi.[39]
Seruan Hasan Hanafi
tentang kri Islam untuk membebaskan kebudayaan umat Islam dan bangsa-bangsa
muslim dari penjajahan budaya asing (Barat) ia tindaklanjuti, antara lain,
dengan menerbitkan bukunya setebal 800 halaman lebih, Muqoddimah fi’Ilmi
al-Istigrab (pengantar tentang Oksidentalisme). Seperti dikatakan Hasan
Hanafi, oksidentalisme merupakan lawan bagi orientalisme.[40]
Lahirnya oksidentalisme
dilatarbelakangi oleh keprihatianan Hanafi atas keterbelakangan dunia Islam
selama ini. Hanafi gelisah melihat perkembangan umat Islam ( dan Dunia Timur)
pada umumnya terhegemoni, terdominasi peradaban Barat dan semakin rapuhnya
tradisi klasik Islam di Dunia Islam.
Melalui Oksidentalisme,
Timur mempelajari dan memahami Barat. Bila dalam kajian Orientalisme, Timur dan
Islam dijadikan Objek, maka dalam kajian Oksidentalisme Baratlah yang dijadikan
objek. Dengan logika itu, Oksidentalisme bertujuan mengikis ‘ egosentrisme
Barat’ yang berlebihan terhadap Timur dan Dunia Islam. Barat juga diharapkan
tidak lagi selalu menjadi subjek sementara Timur dan Islam dijadikan objek.
Dengan cara demikian Barat tidak lagi merasa benar sendiri, dan yang lain
salah. Barat bersifat objektif, superior, maju. Beradab sementara Timur dan
Islam subjektif, inferior, terbelekang dan biadab.[41]
Di Indonesia, wacana
Oksidentalisme terlambat diperkenalkan kepada komunitas intelektual, jadi kita
terlambat mengadopsi suatu perkembangan pemikiran penting di dunia Muslim
(Arab). Terlambat setidaknya dua dekade wacana Oksidentalisme di negeri kita
baru dikenal setelah kedatangan Hanafi di Indonesia pada tahun 2000 dan
terbitnya terjemahan karya pemikir ini berjudul ‘Oksidentalisme Sikap Kita
Terhadap Tradisi Barat.
Karya intelektual
raksasa ini mencakup tiga hal pokok; 1. Sikap kita terhadap tradisi lama; 2.
Sikap terhadap tradisi Barat; 3. Sikap kita terhadap realitas. Dalam
menjelaskan agenda yang kedua, ‘’Sikap Kita terhadap Tradisi Barat’’, Hanafi
menilai ada tiga persoalan pokok yang harus dikaji serius. Pertama,
sumber peradaban Eropa. Di sini diteliti faktor-faktor atau tradisi peradaban
apakah yang menjadi dasar pemikiran dan pefilsafat pembentukan peradaban Eropa.
Bagaimana misalnya kontribusi warisan peradaban Yunani-Romawi, peradaban Yahudi
dan Kristen serta peradaban lain (misalnya, warisan Timur kuno) sejak awal abad
I hingga abad XIV.[42]
Kedua, Hanafi mengkaji proses
bagaimana kesadaran Eropa muncul khususnya pada zaman Reformasi Protestan abad
XV-XVI pada zaman Rasionalisme Cartesian di abad XVII serta zaman pencerahan
abad XVIII. Akhir kesadaran Eropa diyakini Hanafi dimulai dari munculnya filsafat
‘’ saya berfikir’’ menjadi ‘’Saya ada’’. Di fase Histori sini, kesadaran Eropa
melakukan otokritik terhadap masa lampaunya, hasil karya peradabannya, kritik
terhadap idealisme dan positivisme serta ditemukannya ‘’jalan ketiga’’ dan
fenomenologi.[43]
3.
Simpulan
Dunia Islam saat ini telah
terkooptasi oleh Barat, baik sistem, kepentingan, struktur maupun kultur. Hal
ini sebagai dampak kolonialisme dan imperialisme. Masyarakat Islam punya
ketergantungan yang sangat besar terhadap Barat. Dunia Barat berusaha
meng-’hegemoni’ kultur Islam, termasuk tentang Islam itu sendiri. Barat
mengupayakan pemahaman Islam versi Barat, supaya dapat diterima oleh dunia
Islam. Itulah cara Barat untuk mencabut lebur akar sejarah Islam dari sumber
aslinya, Alquran dan Hadis.
Merespon kondisi tersebut, Hasan
Hanafi dengan Kiri Islamnya sangat menentang peradaban Barat, khususnya
imperialisme ekonomi dan kebudayaan. Hasan Hanafi memperkuat umat Islam dengan
memperkokoh tradisinya sendiri. Karena itu, tugas Kiri Islam yang merupakan
salah satu gagasan progressifnya adalah: Pertama, melokalisasi Barat pada
batas-batas alamiahnya dan menepis mitos dunia Barat sebagai pusat peradaban
dunia serta menepis ambisi kebudayaan Barat untuk menjadi paradigma kemajuan
bagi bangsa-bangsa lain. Kedua, mengembalikan peradaban Barat pada batas-batas
kebaratannya. asal-usulnya, kesesuaian dengan latar belakang sejarahnya, agar
Barat sadar bahwa terdapat banyak peradaban dan banyak jalan menuju jalan
kemajuan. Ketiga, Hasan Hanafi menawarkan suatu ilmu untuk menjadikan Barat
sebagai objek kajian, yakni sebagaimana yang dia tulis dalam Muqaddimah fî ‘Ilm
al-Istighrâb (Pengantar Oksidentalisme). Oksidentalisme bagi Hasan Hanafi
merupakan suatu upaya menandingi Orientalisme dan meruntuhkannya hingga ke
akar-akarnya. Untuk mengembalikan citra Islam, ia memberikan jalan dengan
melakukan reformasi agama, kebangkitan rasionalisme dan pencerahan.
Daftar Pustaka
A.
Azizy Qodri. 2003. Reformasi Bermazhab (Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Sesuai
Saintifik) Modern. Jakarta : Teraju.
Badruzaman
Abad. 2005. Kiri Isalm Hasan Hanafi Menggugat Kemapanan Agama Dan Politik. Yogyakarta. PT.
Tiara Wacana Yogya..
Campbell, David, 2007. Poststructuralism, in Tim Dunne, Milja
Kurki & Steve Smith eds
International Relations Theories, Oxford University Press, hlm. 203-228
Harahap
Syahrin dkk. 2003. Eksiklopedi Islam,
cet. I; Jakarta: Kencana
Ridwan.
1998. Reformasi intelektual Islam, pemikiran Hasan Hanafi tentang reaktualisasi tradisi keilmuan Islam,. Yogyakarta:
ITTAQO
Santoso.
Listiyano. dkk. 2009. Epistimologi Kiri. Jogjakarta.AR-RUZZMEDIA.
Shimogaki. Kazuo 2000. Kiri
Islam Antra Modernisme Dan Post
Modernisme Kajian Kritis Atas Pemikiran Hasan Hanafi. Yogyakarta. LkiS
Yogyakarta
Suhelmi Ahmad. 2001. Dari Kanan Islam Hingga Kiri Islam. Jakarta Timur: Darul Falah.
Bertens. 1996. Filsafat
Abad XX Prancis. Jakarta: Gramedia. Hlm. 235; Berten. 1983 Ringkasan
Sejarah Filsafat. Yogya: Kanisius
[3] Ibid.
hlm. 267. Pada tahun 1952, setelah lulus dari Madrasah Tsanawiyah, Hanafi
melanjutkan studi di Jurusan Filsafat Universitas Kairo. Hanafi lulus dan
menyandang gelar sarjana muda pada tahun 1956. Setelah itu ia melanjutkan studi
ke Universitas Sorbone, Prancis. Pada tahun 1966, Hanafi berhasil menyelesaikan
program Master dan Doktornya sekaligus dengan tesis berjudul Les Methodes
d’Exegeses: Essei sur La Science des Fondaments de La Conprehension Ilmu Ushul
Fiqh dan desertasi L’Exegeses de la Phenomenologie, L’etat actuel de la Methode
Phenomenologie et son Application au Phenomene Religieux, merupakan karya
filsafat yang monomental, bahkan karya setebal 900 halaman itu mendapat
penghargaan sebagi penulisan karya ilmiah terbaik di mesir pada tahun 1961.
Karir akademiknya dimulai tahun 1967 ketika diangkat sebagai Lektor, kemudian
Lektor Kepala (1973), dan Profesor Filsafat (1980) pada Jurusan Filsafat
Universitas Kairo. Ia pun diserahi jabatan sebagai Ketua Jurusan Filsafat pada
Universitas yang sama. Selain itu, Hanafi juga aktif memberi kuliah di beberapa
negara, seperti Perancis (1969), Belgia (1970), Temple University Philadelpia
AS (1971-1975), Universitas Kuwait (1979) dan Universitas Fez Maroko
(1982-1984). Selanjutnya Hanafi diangkat sebagai guru besar tamu di Universitas
Tokyo (1984-1985), Persatuan Emirat Arab (1985), dan penasehat program pada
Universitas PBB di Jepang (1985-1987). http://ush.sunan-ampel.ac.id/?p=1582.
19.00 wib. diakses selasa 11. 12. 12.
[6] Post-strukturalisme yaitu merupakan pemikiran baru berakar dari strukturalisme itu
sendiri. Jika strukturalisme bertujuan mendalami konstruksi sosial dan budaya
dengan struktur berbeda untuk memberi arti pada apa yang ada dalam hidup kita
sehari-hari, post-strukturalisme adalah suatu cara analisa bagaimana struktur
memproduksi arti secara konsisten dengan transformasi cara-cara pemberian
perintah sosial pada akhir abad 20. Campbell, David, 2007. Poststructuralism,
in Tim Dunne, Milja Kurki & Steve Smith eds International Relations Theories,
Oxford University Press, hlm. 203-228.
[7] Fenomenologi
adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai
sebuah fenomena. Ilmu fenomonologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan ilmu
hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari arti daripada fenomena ini. Istilah
ini pertama kali diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert (1728 - 1777),
seorang filsuf Jerman. Dalam bukunya Neues Organon (1764). ditulisnya tentang
ilmu yang tak nyata. Dalam pendekatan sastra, fenomenologi memanfaatkan
pengalaman intuitif atas fenomena, sesuatu yang hadir dalam refleksi
fenomenologis, sebagai titik awal dan usaha untuk mendapatkan fitur-hakekat
dari pengalaman dan hakekat dari apa yang kita alami. G.W.F. Hegel dan Edmund
Husserl adalah dua tokoh penting dalam pengembangan pendekatan filosofis ini. http://id.wikipedia.org/wiki/Fenomenologi.
diakses 09.00 wib. 17. 12. 12.
[10] Pengertian
semiotika secara terminologis adalah ilmu yang mempelajari sederetan luas
objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Menurut
Eco, semiotik sebagai “ilmu tanda” (sign) dan segala yang berhubungan dengannya
cara berfungsinya, hubungannya dengan kata-kata lain, pengirimannya, dan
penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya. http://bahasa.kompasiana.com/2012/04/13/analisa-semiotika/.
diakses 09.30
wib. 17. 12
[13] Sayyid Jamal al-Din al-Afghani merupakan seorang tokoh pembaharuan
yang hidup pada abad ke-19 M. Pemikirannya tertumpu kepada usaha untuk mengembalikan
kegemilangan umat Islam yang ketika itu berada di bawah cengkaman penjajah.
Sumbangannya banyak, antaranya dalam bidang politik apabila beliau menganjurkan
pembentukan konsep Pan-Islam kepada masyarakat.Menurut Nikki R.Keddie,
al-Afghani telahmenghabiskan banyak usianya dalamaktiviti politik berbanding
dengan aktiviti lain seperti pembaharuan dalam hal keagamaan yang turut
mendapat tempat dalampemikiran beliau. Ini membawa maksud, pembaharuan dalam
bidang politik seperti mewujudkan kesatuan politik dan pembentukan serta
pengukuhan kekuatan dalam dunia Muslimdanmenamatkan penjajahan Barat merupakan
satu keutamaan kepada al-Afghani.
[16] Marxisme adalah sebuah paham yang mengikuti pandangan-pandangan
dari Karl Marx. Marx menyusun sebuah teori besar yang berkaitan dengan sistem
ekonomi, sistem sosial, dan sistem politik. Pengikut teori ini disebut sebagai
Marxis. Marxisme mencakup materialisme dialektis dan
materialisme historis serta penerapannya pada kehidupan sosial. http://id.wikipedia.org/wiki/Marxisme
diakses 19.30, 17.12.12
[25] Perlu diketahui
kiri Islam Hanafi ternyata sejalan dengan prinsip Al-Ushusl
al-Khamsah yang jadi ciri khasnya Mu’tazilah, Al-Ushul al-Khamsah: pertama, Al-Tauhid, peng-Esa-an Tuhan
yang merupakan inti paham Muktazilah; maksudnya pemurnian esensi Tuhan; Tuhan
tidak memiliki sifat-sifat. Lebih lanjut, Washil bin Atha’ mengatakan kepada
Tuhan tak mungkin diberikan sifat yang mempunyai wujud tersendiri yang melekat
pada Zat Tuhan. Karena Zat Tuhan bersifat qadim. Dengan demikian, sifatpun
bersifat qadim oleh karena itu untuk memelihara murninya Tauhid atau
kemaha-Esa-an Tuhan tidak boleh dikatakan mempunyai sifat. kedua, Al-‘Adl,
prinsip keadilan Tuhan. Al-‘adlu dalam pemahaman Muktazilah secara bahasa
dikelompokkan dalam dua hal, yang dinisbahkan kepada kata kerja yaitu semua
perbuatan baik yang bermanfaat kepada pelaku atau selainnya, dan yang
dinisbahkan kepada pelaku, yaitu bahwa tuhan hanya melakukan hal yang baik dan
tidak dipantaskan bagi-Nya perbuatan-perbuatan buruk. Al-Ushul al-Khamsah ketiga, al-Wa’ad wa
al-Wa’id, prinsip janji dan ancaman. Muktazilah berkeyakinan bahwa janji
berupa balasan kebaikan dan ancaman berupa siksaan tidak mustahil diturunkan.
Janji Allah tentang pahala atas kebaikan akan terjadi, janji siksaan atas
kejahatan juga akan terjadi. Al-Ushul al-Khamsah keempat, al-Manzilah Baina
al-Manzilatain, biasa juga disebut al-Ismu Baina al-Ismain, al-Hukmu Baina
al-Hukmain, yang diberi pengertianposisi diantara dua tempat. Uraian ini
berkenaan dengan penjelasan penulis sebelumnya tentang orang yang berbuat
maksiat yang ditempatkan diantara orang yang beriman dengan orang yang kafir.
Dijelaskan pula posisi mukallaf tidak pada hal ini, diberi pahala jika dekat
terhadap Tuhan dan ‘iqab jika musuh Tuhan. Al-Ushul al-Khamsah kelima,
al-Amr bi al Ma’ruf wa an-Nahy ‘an al-Munkar, prinsip menyuruh berbuat baik
dan melarang kemungkaran. Muktazilah menetapkan bahwa semua muslim wajib
melakukan upaya tersebut untuk menyiarkan dakwah Islam. Syahrin Harahap dkk.
2003. Eksiklopedi Islam, cet. I; Jakarta: Kencana.
[35] Contoh dari
operasional Teologi Hanafi yaitu sifat mukhâlafah li al-hawâdits (berbeda
dengan yanglain) dan qiyâm binafsih (berdiri sendiri), keduanya tuntunanagar
umat manusia mampu menunjukkan eksistensinya secaramandiri dan berani tampil
beda, tidak mengekor atau taqlid padapemikiran dan budaya orang lain. Qiyam
binafsih adalahdeskripsi tentang titik pijak dan gerakan yang dilakukan
secaraterencana dan dengan penuh kesadaran untuk mencapai sebuah tujuan akhir,
sesuai dengan segala potensi dan kemampuandiri. Hanafi, Min al-Aqîdah ila
al-¤aurah. II p. 600 dan seterusnya.
Hlm. 143-303