Senin, 20 Juni 2011

PESANTREN


PEMETAAN ORGANISASI DAKWAH (PESANTREN)
Dosen pembimbing: Usts. Moch. Nafi’
Oleh: Aldi Albani, Fahrurrozy dan Zainuddin MRH
A.     PENDAHULUAN
Pada masa modern ini seluruh manusia berpacu dalam segala bidang kehidupan, baik kehidupan yang bersifat duniawi maupun kehidupan yang bersifat ukhrawi untuk menyeimbangkan antara tujuan duniawi dengan tujuan ukhrawi diperlukan adanya pengetahuan yang luas baik pengetahuan umum
maupun pengetahuan agama, sesuai dengan hadist Nabi yang telah kita ketahui bersama.
Oleh karenanya Pesantren merupakan salah satu tempat untuk mencetak da’i- da’i yang profesional, meskipun dengan memandang pesantren dari luar, maka menghubungkan pesantern dengan istilah   modern seolah  menjadi suatu yang ambigu. Padahal berhadapan dengan modernitas, kalangan santri meerupakan kalangan yang paling lama melakukan reaksi penerimaan, dengan berpegang teguh pada prinsip Al Muhafadhoh ‘ala Al Qodimi Al Shalih wa Al Akhdu bil jadidi Al Aslah.   
 Untuk itu penulis di sini tertarik dengan sebuah pesantren yang tidak hanya fakum di situ saja, melainkan dengan menganalisis kembali sesuatu yang baik tersebut, untuk menjadi yang lebih baik lagi, demi kepentingan masyarakat pesantren dan masyarakat secara umum, pondok pesantren sidogiri misalnya.
Menurut penulis kemajuan pesantern sidogiri ini, tidak lepas dari kerja keras manajemen pesantren melakukan pengembangan ekonomi melalui koperasi  berdasarkan analisis SWOT. Yaitu, menggali aspek kelebihan dan kekurangan pesantren, peluang serta ancaman yang ada ke depan.
B.      PEMBAHASAN
1.    Peran dan Fungsi Pondok pesantren ( Strenght) 
a.    Peranan Instrumental dan Fasilitator
Hadirnya ponpes yang tidak hanya sebagai lembaga pendidikan dan keagamaan, namun juga sebagai lembaga pemberdayaan umat merupakan petunjuk yang amat berarti. Bahwa ponpes menjadi sarana bagi pengembangan potensi dan pemberdayaan umat, seperti halnya dalam pendidikan atau dakwah islamiyah, saran dalam pengembangan umat ini tentu memerlukan sarana bagi pencapaian tujuannya. Sehingga ponpes yang mengembangkan hal yang demikian berarti ponpes tersebut telah berperan  sebagai alat atau instrument pengembangan potensi dan pemberdayaan umat.
b.    Peranan Mobilisasi
Ponpes merupakan lembaga yang berperan dalam memobilisasi masyarakat dalam perkembangan mereka, peranan seperti ini jarang dimiliki oleh lembaga atau perguruan lainnya dikarenakan hal ini dibangun atas dasar kepercayaan masyarakat bahwa ponpes adalah tempat yang tepat untuk menempa akhlak dan budi pekerti yang baik. Sehingga bagi masyarakat tertentu terdapat kecenderungan yang memeberikan kepercayaan pendidikan hanya kepada ponpes.
c.    Peranan Sumberdaya Manusia
Dalam sistem pendidikan yang dikenbangkan oleh ponpes sebagai upaya mengoptimalkan potensi yang dimilikinya, ponpes memberikan pelatihan khusus atau diberikan tugas magang di beberapa tempat yang sesuai dengan pengembangan yang akan dilakukan di ponpes.
d.   Sebagai Agent of Development
Ponpes dilahirkan untuk memberikan respon terhadap situasi dan kondisi sosial suatu masyarakat yang tengah dihadapkan pada runtuhnya sendi-sendi moral  melalui transformasi nilai yang ditawarkan ponpes . Kehadirannya bisa disebut sebagai agen perubahan sosial (agent of social change) yang selalu melakukan pembebasan pada masyarakat dari segala keburukan moral, penindasan politik, pemiskinan ilmu pengetahuan, dan bahkan dari pemiskinan ekonomi. (Departemen Agama. 2003: 91-93).
e.    Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Dakwah
Pengertian sebagai lembaga dakwah benar melihat kiprah ponpes dalam  kegiatan melakukan dakwah di kalangan masyarakat, dalam arti kata melakukan suatu aktivitas menumbuhkan kesadaran baragam atau melaksanakan ajaran-ajaran agama secara konsekuen sebagai pemeluk agama Islam. (Bahri Ghazali. 2003: 38).
Dengan beberapa peran dan fungsi pesantren secara umu di atas, maka  penulis dapat menyodorkan sebuah pesantren yang telah mampu mengoptimalkan perannya, seperti ponpes sidogiri.
Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan ini adalah contoh yang sudah melakukan gerakan ekonomi kerakyatan. Dan sudah terbukti pula pesantrennya sukses. Sidogiri adalah indikator bahwa pesantren bisa menggerakkan ekonomi rakyat kecil dan tentunya harus lebih luas lagi dan dikembangkan oleh seluruh pesantren khususnya  dan seluruh masyarakat muslim.
2.  Kelemahan  Pondok Pesantren (Weakness)
a.    Manajemen Pengelolaan Ponpes; ini memang dimungkinkan terjadi oleh karena pemahaman bahwa ponpes adalah lembaga tradisional, sehingga pengelolaan manajemennya tidaklah menjadi hal yang serius diperhatikan dan sangat konvensional.
b.    Kaderisasi Pimpinan Ponpes; kaderisasi merupakan sarat yangharus ada pada setiap organisasi termasuk organisasi kependidikan seperti ponpes. Ini perlu diperhatikan karena banyak ponpes yang kegiatannya menjadi mati dikarenakan wafatnya pimpinan ponpes.(Departemen Agama. 2003: 36-37).
c.    Masih terdapatnya ambivalensi orientasi pendidkian.  Akibatnya,  sampai saat ini masih terdapat kekurangan dalam sistem pendidikan yang diterapkan. Hal ini disebabkan masih terdapatnya anggapan bahwa hal-hal yang terkait dengan soal kemasyarakatan atau berbagai disiplin ilmu sain dianggap semata-mata merupakan garapan khusus sistem pendidikan sekuler.
d.   Adanya pemahaman parsial atau dikotomi yang memisahkan antara ilmu agama dan sain.(Amin Haedari, dkk. 2005: 1996).
Akan hal tersebut di atas, ponpes dituntuk untuk melakukan terobosan-terobosan sebagai berikut (problem solving):
Pertama, membuat kurikulum terbaru, gradual, sistematik, egaliter, dan bersifat buttom up (tidak top-down) artinya penyusunan kurikulum tidak lagi didasarkan pada konsep plain for student tetapi plain by student. Kedua, melengkapi sarana penunjang proses pembelajaran, seperti perpustakaan, buku-buku klasik dan otamemungkinkan, dll). Ketiga, memberikan kebebasan kepada santri yang ingin mengembangkan talenta mereka masing-masing, baik yang berkenaan dengan pemikiran, ilmu pengetahuan, teknologi, maupun kewirausahaan.  Keempat, menyediakan wahana aktualisasi diri di tengah-tengah masyarakat. (Amin Haedari, dkk. 2005: 198-199).
Dalam hal ini ponpes Sidogiri memberikan kesempatan kepada semua santri untuk mengembangkan  potensi yang dia miliki, baik di bidang pengetahuan bahasa, pendidikan kewirausahaan , ekonomi dan lain- lain.
Pengolaaan ponpes Sidogiri pada awalnya menggunakan  manejemen tradisional, di mana figur central adalah kyai. Hal ini berlangsung sampai masa kepemimpinan KH. Abd. Jalil. Setelah kepemimpnan dipegang oleh KH. Kholil Nawawi dibentuk wadah musyawarah yang diberi nama Panca Warga dengan anggota lima orang putara beliau. Dan pada masa kyai Siraj dibentuk wadah baru yang bernama majelis musyawarah keluarga. Dengan terbentuknya majelis tersebut maka seluruh persoalan pesantren yang muncul menjadi tanggung jawab bersama. Artinya semua keputusan tidak lagi tidak lagi di tangan seorang kyai.(Departemen Agama. 2007: 305).    
3.          Peluang Ponpes  dengan memperluas jaringan.(opurtunity)
Hampir bisa dipastikan bahwa jaringan (network) merupakan elemen penting dalam sebuah institusi atau lembaga untuk terus berkiprah. Di era globalisasi ini hampir tidak ditemukan sebuah institusi atau lembaga yang mengabaikan aspek kerja sama tidak terkecuali ponpes.
Oleh karenanya kerja sama merupakan keharusan yang tidak boleh tidak dilakukan oleh ponpes untuk memberikan sumbangsih terhadap agama dan bangsa. Dengan demikian ponpes dapat melakukan kerja sama dengan:
a.    Kerja sama antar ponpes
Salah satu upaya peningkatan kualitas pendidikan ponpes adalah membangun jaringan kerja sama kelembagaan dengan ponpes lainnya. Sebagaimana diketahui bahwa masing-masing ponpes memiliki keunikan dan konsentrasi keilmuan yang berbeda. Dengan beragamnya konsentrasi dan kecenderungan ponpes , maka dimungkinkan bagi ponpes tertentu bermitra dengan ponpes lainnya yang penigkatan konsentrasi keilmuan tertentu melalui kerja sama kelembagaan. Ini bisa dilakukan melalui pertukaran santri atau pertukaran guru di masing-masing ponpes yang berbeda.
b.    Kerja sama ponpes dengan pemerintah (Negara)
Fenomena penting dalam sejarah perjalanan ponpes adalah proses terbukanya ponpes untuk terlibat dengan kolompok lain. Keterbukaan ponpes untuk menerima kebijaksanaan pemerintah melalui departemen agama misalnya, merupakan kemajuan dan sekaligus merupakan wujud keterbukaan ponpes akan desakan realitas di luarnya. Melalui departemen agama, upaya sinegitas keilmuan agama maupun umum di lembaga-lembaga pendidikan termasuk ponpes dilakukan. Kalau di lembaga pendidikan umum diupayakan pengajaran agama, maka di lembaga pendidikan agama pengajaran ilmu umumpun dilakukan.
Proses kerja sama antara ponpes dengan pemerintah yang dalam hal ini departemen agama, merupakan wujud dari kemajuan ponpes yang mau terbuka menyikapi perubahan dan mampu untuk mengupayakan keilmuan ponpes.
c.    Kerja sama ponpes dengan jaringan internasional
Di samping kerja sama dengan ponpes lainnya atau dengan lembaga pemerintah terkait pesantreen di masa mendatang berpeluang untuk menjalin kerja sama dengan lembaga-lembaga terkait di luar negeri. Kerja sama luar negeriu ini mutlak dilakukan guna menjadikan ponpes berkiprah dalam ranah internasional.(Amin Haedari, dkk. 2005: 169-172).
Pondok pesantren Sidogiri telah melakukan kerja  sama dengan para  meskipun tidak maksimal. Usaha Pondok Pesantren Sidogiri dalam memberdayakan masyarakat, khususnya alumni PPS, di bidang ekonomi yaitu dengan melakukan kerja sama  membuka jaringan atau cabang kopontren di tiap-tiap kecamatan di Jawa Timur. Itulah sepenggal penyampaian Ust H Mahmud Ali Zain, Manajer Kopontren Sidogiri, dalam peresmian Kopontren Sidogiri cabang Kompol Geger Bangkalan, Kamis (03/07/31).
Dengan kehadiran Kopontren yang dirintis oleh K.A. Sadoellah sejak 1961 M di berbagai daerah, lanjut beliau, secara tidak langsung telah membantu kesejahteraan masyarakat sekitar di bidang ekonomi, yakni mengentas ketertindasan masyarakat secara bersama-sama. “Untuk mengentas orang yang nyaris tenggelam, kita harus memegang dan menahannya. Setelah itu baru kemudian mengentasnya secara bersama-sama,” lanjutnya.
Kopontren Sidogiri cabang Kompol ini merupakan cabang baru ke-7 yang dibuka tahun ini, sekaligus menjadi cabang yang ke-30 dari seluruh cabang Kopontren.
4.  Pesantren dan tantangan modern ( Threats)
Dengan memandang ponpes dari luar maka menghubungkan ponpes dengan istilah modern seolah menjadi sesuatu yang ambigu, bagaiman tidak, di dalam benak kepala kita untuk mendefinisikan istilah “pesantren” justru terkenal sebagai lembaga pendidikan  tertua di Indonesia, selalu diidentikan dengan kata tradisional. Kata ini kemudian include dengan istilah kampung, kuno dan tentuna tidak modern. Kemudian realitas seperti ini diterapkan sampai pada perilaku terkecil, seperti tidak diperkenankannya seorang santri mendengarkan radio, televisi, juga jarangnya buku-buku umum, majalah, apalagi komik yang tersedia di ponpes; seolah semakin mengukuhkan bertolakannya antara dunia ponpes dengan modernitas.
Modernisasi, tentu telah membawa dampak begitu besar bagi berlansungnya realitas sosial. Menurut A. Malik Fajar Ada beberapa fenomena yang dieksplorasi yang bisa diungkap mengenai implikasi dari modernism, yaitu:( Amin Haedari, dkk. 2004: 37-38).
1.    Berkembangnya mass culture karena pengaruh kemajuan mass media. Seperti televisi, hingga arus informasi tidak lagi bersifat local, tapi nasional bahkan global. Hal ini akan berdampak pada kondisi keragaman ataupun heterogenitas nilai dalam masyarakat, yang akan berpengaruh terhadap nilai-nilai agama yang ada pada masyarakat.
2.    Tumbuhnya sikap hidup rasional, sehingga banyak hal didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang lebih rasional, termasuk dalammenyikapi ajaran agamanya.
3.    Munculnya sikap hidup yang cenderung “permisif”, yaitu sikap hidup yang longgar terhadap bentuk penyimpangan, termasuk penyimpangan terhadap agamanya.
Oleh karena itu, semua pondok pesantren, sidogiri khususnya, harus lebih kritis lagi untuk mengaplikasikan potensi yang telah ia miliki, semisal dalam ekonomi syariahnya, sehingga tidak ada penyimpangan terhadap hukum agamanya.
Maka diperlukan pendidikan, pembimbingan dan pendampingan terhadap semua komponen yang bersentuhan langsung dengan pratik ekonomi syariah. Pendidikan ekonomi syariah ini diharapkan tidak hanya ditunjukkan kepada petugas dan kepara bangkir syariah, akan tetapi juga kepada masyarakat umum, utamanya para nasabah. Sebab, selama ini masyarakat tidak memahami betul mengenai apa dan bagaimana ekonomi syariah. Akibatnya, tidak sedikit yang berpandangan bahwa sistem syariah sebenarnya tidak beda jauh dengan sistem konvensional.
Seperti dalam masalah peminjaman modal; dalam sistem syariah dikenal sistem qardul-hasan, yakni peminjaman yang dalam pengembaliannya dianjurkan pengembalian lebih. Pengembalian lebih ini tidak disyaratkan dalam akad. Sistem ini, jika disalahpahami, akan menimbulkan asumsi bahwa sistem syariah juga mengambil bunga.(http://sidogiri.net/index.php/pustaka)
C.      SIMPULAN
Dari penjelasan di atas,  penulis dapat menarik benang merah, bahwasannya  dakwah bukan hanya menyampaikan atau penerangan agama saja  melainkan semua usaha untuk merealisir ajaran agama Islam dalam semua segi kehidupan manusia, sebagaimana yang telah disamapaikan H. soedirman bahwa dakwah tidak identik  dengan tabligh tetapi meliputi semua usaha mewujudkan ajaran islam dalam semua segi kehidupan.
Oleh karena itu pesantren kalau boleh dikatakan, adalah  sebuah oraganisasi atau masyarakat dakwah yang dapat menjawab dan melayani  semua permasalahan kehidupan masyarakat baik berskala nasional ataupun internasional.  

Daftar rujukan
Departemen Agama. 2003. Pola Pengembangan Pondok Pesantren. Jakarta: Ditpekapontren
Departemen Agama. 2007. Direktori Pesantren. Jakarta. Ditpekapontren
Ghazali, Bahri. 2003. Pesantren Berwawasan Lingkungan. Jakarta: CV. Prasasti
Haedari, Amin. Dkk. 2005. Masa Depan Pesantren. Jakarta: IRD Press
Haedari, Amin. Dkk. 2004. Panorama pesantern dalam cakrawala modern.jakarta. Diva Pustaka Jakarta.

Minggu, 19 Juni 2011

RAMADHAN


PEMBAGIAN BULAN RAMADHAN
Oleh:  Dr.KH, Hesyim Muzhedi
        
         Alhamdulillah, jama'ah kita banyak dan penuh. Kenapa kok banyak?, karena ini baru pertama kali. Bulan Ramadhan itu terbagi menjadi 3 babak; Babak penyisihan, babak semifinal dan babak final. Babak penyisihan berada pada 10 hari pertama, babak semifinal berada pada 10 hari kedua dan babak final pada 10 hari yang terakhir. Apakah kita semua ini bisa sampai babak final atau hanya sampai babak penyisihan?.
       Pada babak penyisihan (10 hari pertama) ini, Allah SWT memberikan Rahmat, dan pada babak semifinal nanti, Allah SWT akan memberikan Maghfirah (ampunan), sedangkan pada babak final, Allah SWT akan membebaskan kita dari siksa neraka.
       Karena kita masih berada dalam babak penyisihan, maka kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan Rahmat. Dalam 10 hari pertama ini, kalau puasa kita sudah beres, maka kita akan memperoleh Rahmat. Ukuran puasa yang sudah beres adalah ketika seseorang sudah mampu memenuhi syarat dan rukun puasa serta beres tingkah lakunya. Jadi, dia tidak makan maupun minum, tidak melanggar larangan-larangan Allah SWT dan senantiasa memperbaiki tingkah lakunya. Itulah yang disebut dengan puasa yang sudah beres. Puasa yang beres ini bisa mendatangkan Rahmat.
       Rahmat adalah pemberian Allah SWT yang mengakibatkan kenikmatan yang sesungguhnya. Tidak semua pemberian Allah SWT berakhir dengan kenikmatan. Misalnya; Banyak orang diberi kekayaan, namun dia hancur dengan kekayaannya. Berarti dia diberi suatu pemberian oleh Allah SWT, akan tetapi pemberian tersebut tidak menjadi Rahmat baginya. Jadi, Rahmat adalah kenikmatan yang sesungguhnya, bukan kenikmatan yang palsu.
       Contoh pemberian yang tidak mendatangkan Rahmat antara lain:
1.    Orang diberi kepandaian sampai menjadi seorang sarjana hukum, selanjutnya dia menjadi orang hukuman. Hal ini berarti dia telah diberi ilmu, akan tetapi tidak diberi Rahmatnya ilmu;
2.    Orang diberi pangkat yang tinggi, namun karena mungkin dia memperoleh pangkat itu dengan cara yang ngawur, maka pangkat itu membuatnya berakhir dengan kesedihan;
3.    Banyak pembagian harta waris yang berakhir dengan pertikaian keluarga dan saling tuntut-menuntut di pengadilan.
       Jadi, yang dimaksud dengan pemberian Rahmat pada 10 hari pertama adalah kita diberi sebuah pemberian yang bermanfaat dan membawa berkah. Misalnya; Kita bekerja di pasar, kemudian menghasilkan uang, meskipun uang yang yang dihasilkan itu sedikit, namun bisa membuat kita kenyang dan halal. Kita dianugerahi seorang anak, kemudian anak kita berbakti kepada orang tua. Atau anak tersebut diberi ilmu, sehingga dia menjadi orang yang shalih karena ilmunya.
       Pemberian dari Allah SWT disebut dengan minnah (pemberian). Jika minnah tersebut membawa kenikmatan di dunia dan akhirat, maka minnah itu berubah menjadi Rahmat. Jangan dibayangkan, pemberian Rahmat pada 10 hari pertama ini bukan berarti memperoleh rezeki yang gelundungan (mendadak), akan tetapi Rahmat dalam artian bahwa apa yang sudah kita miliki, akhirnya menjadi sesuatu yang membawa manfaat dan barokah.
       Contoh pemberian yang bukan merupakan Rahmat adalah seseorang diberi harta yang melimpah, namun harta itu dihabiskan dalam sekejap oleh anak-anaknya atau digunakan berobat oleh istrinya yang terkena kanker, sehingga dia sendiri tidak lagi merasakan kenikmatan hidup.
      
       Setiap Rahmat mengandung tanggung jawab. Itulah letak perbedaan antara minnah dan Rahmat. Minnah yang tidak disertai rasa tanggung jawab akhirnya mengakibatkan pemberian itu menjadi sia-sia belaka. Namun jika minnah itu disertai tanggung jawab, maka statusnya berubah menjadi Rahmat. Jadi, Rahmat selalu menuntut tanggung jawab.
       Rahmat menuntut tanggung jawab dalam dua hal, yaitu dari mana kita memperoleh Rahmat itu dan bagaimana kita menggunakannya. Contoh tanggung jawab yang pertama adalah: Dari mana kita memperoleh seorang istri?. Dari mana kita memperoleh ilmu agama, apakah berasal dari Imam Syafi’i RA atau Imam Samudra?, dari Abu Bakar Ash-Shiddiq RA atau dari Abu Bakar Ba’asyir?. Dari mana kita memperoleh rezeki hari ini?.
       Tanggung jawab yang kedua adalah bagaimana kita menggunakan Rahmat tersebut. Jika tanggung jawab yang pertama sudah salah, maka tanggung jawab yang kedua sudah pasti salah. Akan tetapi jika tanggung jawab yang pertama sudah benar, belum tentu tanggung jawab yang kedua ikut benar. Contoh: Tukang becak memperoleh uang dari hasil keringatnya sendiri, namun uang tersebut digunakan untuk berjudi. Jadi, dia memperoleh uang dengan cara yang benar, akan tetapi dia salah dalam penggunaannya.
       Rahmat dicabut oleh Allah SWT ketika kedua tanggung jawab di atas tidak dipenuhi. Pelaksanaan tanggung jawab yang kedua di atas memang berat. Misalnya; Kita mempunyai harta melimpah, lalu harta itu kita gunakan untuk keperluan apa?. Apakah untuk membayar zakat, shadaqah, menyekolahkan anak, atau hanya untuk berfoya-foya?. Tanggung jawab seperti ini tidak hanya berlaku pada harta benda saja, akan tetapi juga berlaku pada ilmu, jabatan, kesehatan, dll. Kesimpulannya, semua Rahmat senantiasa menuntut tanggung jawab.

Selasa, 07 Juni 2011

KONTEKSTUALALISASI KITAB KUNING

KONTEKSTUALISASI KITAB KUNING
Di Tengah Realita Modernisasi Pesantren
Seiring dengan semakin berkembangnya pesantren-pesantren yang mengatasnamakan pesantren modern atau pesantren terpadu kembali mencuat di benak kita semua “ apakah ciri khas pesantren yang fundamental sudah usang? ( ciri khas pesantren yang dimaksud adalah pengajaran kitab kuning di pesantren). Terlepas dari usang atau tidaknya kitab kuning di pesantren-pesantren modern, tetapi kenyataan yang tak bisa di pungkiri adalah manfaat dari kitab kuning itu sendiri sehingga dianggap sangat penting. Karena perkembangan ilmu pengetahuan bersifat historis, kitab kuning ini juga merupakan dari ilmu pengetahuan, bentuk interpretasi dan kontektualisasi ajaran Islam yang termaktub dalam Al Quran dan Al Hadist, pemikiran ulama sepanjang abad di seluruh belahan dunia islam. Karena itu, dalam ukuran masyarakat kita, khususnya dikalangan Nahdlatul Ulama (NU), seseorang tidak mungkin mendapat gelar ulama atau kiyai tanpa menguasai kitab kuning.
Dalam konteks ini, pesantren sebagai lembaga pendidikan mempunyai watak utama, yaitu sebagai lembaga pendidikan yang memiliki ciri-ciri khas. Karena, pesantren memiliki tradisi keilmuan yang berbeda dengan tradisi keilmuan lembaga-lembaga lainnya, seperti universitas. Salah satu ciri utama pesantren sebagai pembeda dengan lembaga pendidikan lain, adalah pengajaran kitab kuning, kitab-kitab islam klasik yang di tulis dalam bahasa arab baik yang ditulis oleh para tokoh muslim arab maupun para pemikir muslim Indonesia.
Secara keseluruhan, kitab kuning yang diajarkan dalam pesantren dapat dikelempokan dalam delapan bidang kajian ; Fikih dan Ushul Fikih, Nahwu, Sharaf dan Balaghoh, Tafsir dan Ulumul Qur’an, Hadist, Tauhid, Tasawuf dan  Tarikh. Teks kitab-kitab ini ada yang sangat pendek, ada juga yang berjilid-jilid. Kitab kuning ini dapat digolongkan dalam tiga tingkat, yaitu: kitab tingkat dasar, kitab tingkat menengah dan kitab tingkat atas. Dan kalau dilihat macamnya kitab kuning dapat dibagi dalam dua macam:
 Pertama, Al kutub al Qodimah ( kitab klasik salaf). Semua kitab ini merupakan produk ulama pada sebelum abad ke-19 M. ciri-ciri umumnya, Pertama, bahasa pengantar sentuhnya bahasa klasik, terdiri atas sastra lirik (nadzam) atau prosa lirik (nastar). Kedua, tidak mencantumkan tanda baca, seperti koma, titik, tanda seru, tanda Tanya dan sebagainya. Ketiga, tidak mengenal pembabakan alinea atau paragraf. Sebagai penggantinya adalah jenjang uraian seringkali disusun dengan kata kitabun, babun, faslun, dan lain-lain. Keempat, isi kandungan kitab banyak berbentuk duplikasi dari karya ilmiah ulama sebelumnya. Kitab sumber diperlukan sebagai matan, yang dikembangkan menjadi resume  (mukhtashor atau khulashoh ). Kelima, khusus kitab salaf yang yang beredar di pesantren si pengarang harus tegas berafiliasi dengan madzhab, terutama madzhab empat.
Kedua, al kutub al ‘ashriyah. Kitab-kitab ini merupakan produk ilmiah pada pasca abad ke-19 M. ciri-cirinya, pertama, bahasanya diremajakan atau berbahasa popular dan diperkaya dengan idiom-idiom keilmuan dari disiplin non-syar’i. pada umumnya karangan berbentuk prosa bebas. Kedua, teknik penulisannya dilengkapi dengan tanda baca ( harkat, titik, koma, dll). Ketiga, sistematika dan pendekatan analisisnya terasa sekali di pengaruhi oleh ilmu pengetahuan umum pada zamannya. Keempat, isi karangan merupakan hasil study literatur yang merujuk pada banyak buku dan seringkali tidak ada keterikatan dengan faham atau madzhab tertentu. Kelompok kedua inilah yang kitabnya biasanya di sebut dengan “ kitab putih” atau kitab yang digunakan di pesantren-pesantren modern.
Memang, baru-baru ini muncul gugatan dari beberapa kelompok maupun individu terhadap status kemuktabarahan kitab kuning, mereka beranggapan bahwa kitab kuning dianggap telah menutup akses modernisasi pesantren ( penggunaan kitab putih). Tentu saja pernyataan ini tidak benar, mengapa demikian? Karena kitab kuning di pesantren merupakan kitab pokok yang harus dikuasai, ini terlihat dari jenis penulisan kitab, metode pengajaran kitab (thuruqut tadris), otoritas kitab, juga historical pesantren yang sejak dari dulu mengajarkan kitab kuning kepada generasinya. baru setelah itu boleh mempelajari kitab putih sebagai kitab anjuran. Kalau di perguruan tinggi ada yang dinamakan buku wajib dan buku penunjang tetapi pesantren tidak mengistilahkan sepeerti itu, kalangan pesantren memiliki pengetahuan yang lebih komprehensif tentang agama, karena mereka mengetahui perkembangan ajaran agama baik dikalangan santri (pelajar) maupun masyarakat. Bagi mereka yang tidak mengetahui perkembangan tersebut maka cenderung cupet pemikiran dan fanatic. Sifat seperti inilah yang seharusnya ditanggapi dengan arif dan bijak oleh pengendara dan pemerhati pesantren di Indonesia.
Untuk itu pihak  dari pesantren seyogiyanya menganalisis dan mencermati conten dari kitab kuning itu sendiri, sehingga bisa untuk menjawab pantangan dari zaman yang penuh dengan berbagai tekonogi ini.     

TARIQOH



NAQSABANDIYAH SEJARAH DAN AJARANNYA
A.PENDAHULUAN
Alhadulillah Allah telah senantiasa mencurahkan segala nikmat dan rahmatnya Sehingga kita bisa menghembuskan nafas untuk kesekian kalinya, karena tanpa taufiq dan rahmatNya pasti kita tidak bisa untuk mendiskusika ajaran- ajaran tasawwuf yang telah dicetuskan oleh ahlus suffah.
            Pada kesempatan yang berbahagia ini penulis sedikit ingin menguraikan sejarah tariqat naqsabandiyah dan ajaran – ajarannya, namun sebelum kita  melangkah lebih jauh penulis sedikit menjelaskan pengertian  tariqat dalam tasawwuf. 
            Menurut Harun Nasution, tarekat berasal dari kata thariqah, yang artinya jalan yang harus ditepuh oleh seorang sufi agar berada sedekat mungkin dengan Allah. Tariqah kemudian mengandung arti organisasi. Tiap tariqah mempunyai syaikh, ucapan ritual, dan bentuk dzikir sendiri. Di timur tengah, istilah ''ta'ifah'' terkadang lebih disukai untuk organisasi, sehingga lebih mudah untuk membedakan antara yang satu dan yang lain. Akan tetapi di Indonesia kata tarekat mengacu pada keduanya.[1] 

            Pebahasan tareqat di dalam tulisan ini mengacu pada pengertian tareqat yang terakhir, yaitu tariqat sebagai organisasi sufi.
B. PEMBAHASAN
     1. Sejarah lahirnya Naqsabandy
            Tariqat Naqsabandy didirikan oleh Muhammad bin Muhammad Bahauddin al uwaisi al bukhari naqsabandy.(717 H / 1318M- 791 H/ 1319 M). Tariqat ini bersumber dari abu Ya'kub Yusuf al Hmdani, sufi yang hidup sezaman dengan Muhiddin abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi Saleh atau Syeh Abdul Qodir Jailani, tokoh sufi dan wali besar.
            Muhammad Bahauddin merupakan tokoh yang sangat pandai melukiskan kehidupan yang gaib – gaib kepada pengikutnya, sehingga ia dikenal dengan nama Nqsabandy ( lukisan). Kata al Hwaisi berbungan dengan salah seorang tokoh sufi terkenal  dimasa sahabat, yaitu Uwaisi al Qrni. Di samping Nqsabandy mempunyai hubungan keluarga dengan Uwaisi al Qorni.
            Menurut kitab jami' al usul naqsabandy lahir dari keluarga dan lingkungan sosial yang baik, kelahirannya disertai dengan kejadian- kejadian aneh, bahkan menurut suatu riwayat, jauh sebelum tiba waktu kelahirannya sudah ada tanda- tanda aneh berupa bau semerbak di desa hinduwan.
        2. Ajaran- ajaran tarekat Naqsabandy
            Ajaran- ajaran Nqsabandy disebarluaskan oleh Adul kholiq Gudjawan salah seorang muridnya. Penyebarluasan ajaran ini terutama didaerah asia tengah, ia menetapkan delapan prinsip utama di dalam ajaran tariqatnya. Kedelapan prinsip tersebut selanjutnya menjadi dasar ajaran tariqat naqsabandiyah.
1.      Husy dar dam  yaitu pemeliharaan keluarnya nafas dari kelupaan kepada Allah SWT, sehingga salik selalu hadir dan ingat kepada Allah dalam setiap tarikan dan hembusan nafasnya.
2.       Nazdar bar qodam yakni setiap salik merpelihatkan langkah dirinya. Apabila berjalan ia selalu melihat ke tempat kakinya melangkah dan apabila duduk ia melihat pada kedua tangannya.
3.      safar dar wathan yaitu perpindahan diri sifat kemanusiaan yang kotor dan rendah pada sifat- sifat kemalaikatan yang suci.
4.      khalawat dan arjuman yaitu setiap salik harus selalu menghadirkan hati kepada Allah dalam segala kondisi.
5.      yad kard, yakni selalu mengulangi dzikir asma kapada Allah, dzikir nafi, dan dzikir isbat.
6.      baz gard, yaitu menjaga pemikiran sendiri dengan mengulangi dzikir sesudah meresapkan kalimat ilahii anta maqsudii waridhoka matlubi.
7.      nigah dast, yakni murid harus memelihara hatinya dari kemasukan segala sesuatu yang dapat menggangu dan menggoda sekalipun hanya sejenak.
8.      ya dan dast, pemusatan perhatian sepenuhnya kepada musyahadah (persaksian).

Tariqat naqsbandy dibina atas enam hal pokok yaitu: 1. tobat 2. uzlah 3. zuhud 4. taqwa 5. qonaah 6. taslim ( berserah diri)
            Adapun rukun tarikat naqsabandy ada enam yaitu: 1. ilmu 2. hilm. 3. sabar. 4. rido 5. ikhlas 6. berakhlak yang mulia.[2]
            Menurut penyelidikan para Ulama' ahli tariqoh yang mu'tabarah, sebenarnya dasar hukum tariqah dapat dilihat dari dari segi- segi yang antara lain adalah sebagai berikut: segi exsistensi amalan tariqah yang betujuan hendak mencapai pelaksanaan syari'at secara tertib dan teratur serta teguh di atas norma- norma yang semestinya dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT.[3]
وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا(16)          
       '' Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam) benar- benar kami akan memberikan minum kepada mereka air segar ( rizqi yang banyak)
            3. Naqsabandiyah di indonesia
            Perkembangan tariqat naqsabandiyah di indonesia berkembang dalam bentuknya sendiri sehingga di kenal adanya dua versi, yaitu: tariqoh naqsabandiiyah khalidiyah dan tariqah naqsabandiyah mudzariyah. Tariqah naqsabandiyah khalidiyah bersumber dari syekh Ismail al Kholidi di minankabau, penyebaran penyebaran dilakukan mulai dari daerah asalnya, sumabur, dengan sistem  penyebaran melalui pengembaraan yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Adapun tariqah naqsbandiyah Muzdariyah bersumber dari Muhammad Saleh az Zamawi.
            Penyebaran Tariqoh naqsabandiyah Mudzariyah dari syekh as Zamawi lebih luas dan menyentuh dnia internasional. Di pulau jawa, ada lma organisasi tariqat naqsabandiyah, yang merupakan tariqat yang paling berpengaruh yang semuanya bernama tariqat naqsabandiyah kadariyah. Adpun pusatnya terletak di lima pesantren besar, yaitu pesantren Pengentongan di Bogor, pesantren Suryalaya di tasik malaya, pesantren Ranggen Semarang, pesantren Rejosa Jombang, dan pesantren Tebu Ireng Jombang. [4]
C. KESIMPULAN
            Jadi tariqah naqsabandiyah merupakan salah satu tariqah yang mengedepankan hati untuk selalu berdzikir disertai dengan perilaku kita dimanapun, kapanpun dan siapapun, karena salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah yaitu berdzikir dan berdzukir. Dengan konsep Ajaran yang telah diajarkan semoga kita menjadi orang yang selalu ingat dan mengenal Allah.     
Daftar pustaka
Anwar.Rosihun. Ilmu tasawwuf.. bandung. 2000. cv.pustaka setia
Insiklopedi Islam. Jakarta. PT. Ichktiar bara van.
L Mz. Labib. Ajaran taswwuf dan tariqat. Surabaya. Bintang usaha jaya
http://www. Google. Com. /search? Ie=utf8. &. Tariqah naqsabandiyah.



[1].Rosihun Anwar. Ilmu tasawwuf.. bandung. 2000. cv.pustaka setia. Hlm. 165- 166.   
[2]. Insiklopedi Islam. Jakarta. PT. Ichktiar bara van. 1999.  
[3]. Labib Mz. Ajaran taswwuf dan tariqat. Surabaya. Bintang usaha jaya. 2003.
[4]. http://www. Google. Com. /search? Ie=utf8. &. Tariqah naqsabandiyah.  

Pengikut