Rabu, 09 Januari 2013




Kiri Islam Hasan Hanafi
OLEH: ZAINUDDIN
1.      Pendahuluan
            Ketika kita mendengar kata kiri, mungkin di dalam benak kita akan segera muncul lawan dari kata itu, yakni kanan dan yang lebih ironi lagi ketika kita berpikir bahwa kiri adalah kalimat yang berkonotasi pada sesuatu yang tidak baik. Kiri dan kanan diberbagai lapangan kehidupan merupakan kenyataan yang tidak bisa dinafikan. Di area politik misalnya, dua kata itu selalu mengemuka menjadi dua k utub yang bersebrangan. Di bidang ilmu sosial maupun kehidupan keseharian, dua kata ini sering tampil sebagai dua kekeuatan yang berlawanan.tidak terlalu sulit menemukan kiri dan kanan dikehidupan kita, yakni kiri dan kanan dalam pengertian dua haluan atau front kekuatan yang saling bergumul atau berhubungan secaradialektis.
            Kalau kita perhatikan ketika kata kiri digandengkan dengan kata Islam, muncul sejumlah pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan pengertian kiri Islam Hasan Hanafi[1] itu? Dan Islam seperti apa yang dimaksud didalamnya apakah Islam sebgai ajaran kemanusiaan–universal di dalamnya ataukah pemikiran Islam. Oleh karena, untuk menjawab pertanyaan serperti itu, maka dengan beberapa lembar makalah ini, penulis ingin mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
   
2.      Pembahasan
A.      Sekilas beografi dan sosio kultural Hasan Hanafi
                        Memahami pemikiran seseorang, tidak bisa lepas dari perspektif historis kelhiran pemikiran beserta ruang lingkup yang mempengaruhinya. Ada beberapa faktor yang turut terlibat dalam memunculkan karateristik pemikiran seseorang.[2] Menurut Anton Bakker dan Charis Zubair, manusia itu makhluk historis, seseorang berkembang dalam pengalaman dan pikiran, bersam dengan lingkungan dan zamannya. Oleh karena itu, baik dia sendiri maupun ekspresinya dan bersamaan dengan lingkup zamannya sendiri harus dilihat menurut perkembangannya.
                        Itulah sebabnya, memahami Hanafi, juga tidak bisa dilepaskan dari berbagai faktor yang mempengaruhi  terbentuknya karateristik dasar pemikirannya. Hasan Hanafi, yang dilahirkan pada 13 Februari 1935 di Kairo, Mesir, merupakan satu dari sekian doktor dibidang filsafat kontemporer terkemuka di dunia Islam. Kota Agha Khalil merupakan tempat di mana ia memulai pendidikan dasar, dan melanjutkan Madrasah Tsnawiyah yang ditempuhnya selama empat tahun.[3] Sejak kecil usia muda dia telah tertarik dengan persoalan-persoalan politik negaranya dan dunia Islam. Hanafi mengamati berbagi pergolakan politik keagamaan di Mesir; pertarungan sengit antara Ikhwanul Muslimin pimpinan Sayyid Qutb[4] melawan rezim Jamal Abdul Nasser.
                        Tempaan pendidikan di Departemen Filsafat Uneversitas Kairo tahun 1952, mengantarkannya sebagai seorang sarjan muda bidang filsafat. Studi filsafat semakin menemukan bentuknya setelah dia memperoleh kesempatan untuk melanjutkan ke jennjang postgreduate di Uneversitas Sorbronnne, Prancis, selama kurang lebih 10 tahun, 1956-1966. Studiny di Prancis, memberikan arah baru bagi pemikiran kefilsatan Hasan Hanfi, terutama pemantapan metodologisnya melalui kuliah-kuliah atau pun bacaan karya orientalis.[5]
                        Dengan demikian pergulatan pemikiran Hasan Hanafi pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari persinggungan dia dengan beberapa pemikir besar Prancis yang menjadi dosennya, seperti Jean Gitton, Paul Ricour, dan Juga Edmund Hussel. Bahkan sepuluh tahun hidup belajar di Prancis adalah suatu rentang waktu cukup lama untuk bisa memahami tradisi pemikiran Barat dengan baik, di mana waktu itu sangat akrab dengan filsafat poststruktualisme[6], fenomenologi[7] dan eksistensialisme[8].[9]
                        Realitas sejarah ini menjadikan sosok Hasan Hanafi sebagi pemikir yang berpadu dua tradisi pemikiran. Barat dan Timur (Islam), antara tradisional dan modern. Melalui perpaduan dua perspektif ini, dia mencoba merespon basis sosialnya yang berupa kondisi obyektif dunia Timur yang penuh dengan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan, dan kenyataan dunia Barat yang mendomonasi, tidak hanya aspek poltik, tetapi juga aspek pendidikan, ekonomi dan kultur yang menjadi ancaman eksternal bagi dunia Islam.
                        Setting gagasan Hasan Hanafi pada dasarnya coba diletakkan pada analisis sejarah sosial dan kekuatan-kekuatan sosial yang melahirkan sejumlah gagasan besar. Perangkat metodologis yang melahirkan sejumlah gagasan besar. Perangkat metodologis yang hendak dipakai adalah, meminjam analisis semiotika[10] sosial, yang di dalamnya dikenal dengan tiga konteks, konteks situasi, kontek sosial, konteks budaya.[11]
                        Kemudian sekembalinya ke Mesir (1975), Hanafi membawa agenda besar semacam proyek peradaban (al Masyru’ la Hadhary) yang mengusung nama Al- Turats wa- al Tajdid. Sambil mengajar di Fakultas sastra Kairo, doktor muda muda itu meleburkan diri ke dalam proses percernaan pemikiran-pemikiran Pan-Arabik. Kajian-kajian awalnya sangat bersifat ilmiah murni. Mungkin saat itu hanafi mengelaborasi secara paradigmatik posisi Islam sebagai suatu pandangan hidup dalam kiprah bangsa dan negara. Sesudahnya, dia mulai bicara tentang keharusan bagi Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dengan dimensi pembebasan di dalamnya.               Namun Naskah Al- Turats wa- al Tajdid belum sempat selessai ditulis, karena ia kemudian ikut aktif dalam gerakan anti pemerintah Presiden Anwar Sadat yang dinilainya pro Barat dan bersedia untuk berdamai dengan Israel, musuh bebuyutab baangsa Arab. Keterlibatan Hanafi pada gerakan anti-pemerintah Presiden Anwar Sadat, menjadikannya dipecat dari universitas Kairo dengan tuduhan menentang penguasa. Hanafi pun kemudian banyak menulis  di berbagai surat kabar dan majalah.
                        Baru pada periode yang terakhir (tahun 80-an sampai 90-an), karya-karya beliau  memiliki latar belakang politik yang relatif lebih stabil di banding masa-masa  sebelumnya. Pada periode ini Hanafi menulis Al- Turats wa- al Tajdid, yang memuat landasan teoritis bagi dasar-dasar pembaharuan dan langkah-langkahnya kemudian dia menulis Al-Yasar al-Islami, semacam’’manifesto politik’’ dan seruan ideologis.[12]
             
B.       Pengertian, Latar Belakang  Kiri Islam dan tujuannya
a.   Pengertian
                        Kiri Islam adalah kelanjutan Al-Urwa al-Wutsqa dan Al-Manar dilihat dari keterkaitannya dengan agenda Islam Al-Afghani[13]: yaitu melawan kolonialisme dan keterbelakangan, menyerukan kebebasan dan keadilan sosial serta mempersatukan kaum muslimin ke dalam blok Islam atau blok Timur. Dengan demikian kiri merupakn penyempurnaan agenda modern Islam yang mengungkapkan realitas dan tendensi sosial poltik kaum muslimin, ia tidak muncul dari ruang hampa dan bukan sesuatu yang mengada-ada dalam gerakan Islam kendati pun ia muncul di tengah-tengah kekosongan stelah Al-Afghani mengalami krisis dan terdistorsi di dalam Al-Manar.[14]
                        Nama Kiri Islam menurut Hanafi menjelaskan realitas kekinian ummat Islam dunia. Karena itu terminologi Kiri Islam adalah terminologi akademis. Hanafi menolak asumsi bahwa dalm Islam tidak ada ‘Kanan dan Kiri’, yang ada hanya Islam. Pandangan itu menurutnya naif dan mengacu pada prinsip, atau sesuatu yang berada di luar realitas historis umat Islam. Jadi berwatak a-historis. Pandangan itu tidak bertitik tolak pada realita sosial budaya umat masa lampau dan masa kini. Ia menegaskan bila kita berfikir empiris maka kita akan melihat umat Islam berada dalam pertentangan kepentingan antara kelompok ‘Kiri’ (tertindas) dan ‘Kanan’ (penindas).
                        Apa makna Kiri  versi Hanafi? Menurut Hanafi, mereka yang anti ‘Kiri’ ingin mempertahnkan statusquo politik, sosial, budaya, dan realitas sistem kelas yang repressif terhadap masyarakat Islam.[15] Dalam pergerakan Islam, Kiri Islam bukanlah suatu yang bid’ah, walaupun untuk kali pertama mungkin tampak asing setelah agenda dan gagasan-gagasan revolusioner yang pernah dikumandangkan oleh Al-Afghani di dalam Al-Urwa al-Wutsqa tidak lagi begitu nyaring terdengar . Bahkan penerus Al-Urwa al-Wutsqa, yaitu Al-Manar, cendrung menjadi jurnal dakwah yang berisi nasihat dan bimbingan mental.
                        Ciri menonjol Kiri Islam lainnya adalah slogan-slogannya yang antusias revolusioner, radikal dan memihak kepada masa tertindas. Slogan-slogan itu menurut Hanafi dapat ditemukan dalam teks-teks Al-Qur’an dan tradisi Islam klasik. Slogan ‘Kiri’ menggugah kesadaran massa Muslim untuk bergerak dan menggugah kesadaran. Terminologi ‘Kiri’ menyadarkan umat Islam berada dalam situasi ketertindasan dan keterbelakangan.           

b.   Latar Belakang dan Tujuan
                        Kiri Islam lahir setelah melihat berbagai kegagalan dalam metode pemberuan masyarakat dunia Timur (Islam) dalam beberapa generasi dalam mengentaskan keterbelakangan dan kemiskinan. Hal ini disebabkan karena:                      Pertama, berbagai tendensi keagamaan yang terkooptasi kekuasaan yang menjadikan agama (Islam) hanya sekadar ritus dan kepercayaan-kepercayaan ukhrawi. Padahal, realitas Islam bukan merupakan representasi dari sistem Islam, sehingga gebyar ritus-ritus dan perayaan-perayaan tersebut justru menjadi topeng yang menyembunyikan wajah dominasi tradisi Barat dan kapitalisme. Sementara kecendrungan keagamaan yang tidak terkooptasi, terjebek dalam fanatisme primordial, kejumudan dan berorientasi kekuasaan.
                        Kedua, liberalisme yang pernah berkuasa sebelum masa-masa revolusi berakhir, ternyata didekte oleh kebudayaan barat, berperilaku seperti penguasa kolonial dan hanya melayani kelas-kelas elite yang menguasai aset negara; ketiga, Marxisme[16] yang berpotensi mewujudkan keadilan sosial dan menentang kolonialisme, ternyat tidak diikuti dengan pembebasan rakyat dan penembangan khazanah mereka sebagai energi untuk mewujudkan tujuan-tujuan kemerdekaan nasional; dan keempat, nasionalisme revolusioner yang berhasil melakukan perubahan-perubahan radikal dalam sistem politik dan ekonomi, ternyata tidak berumur lama, banyak mengandung kontradiksi dan tidak mempengaruhi kesadaran mayoritas rakyat. Itulah sebabnya, kiri Islam dimunculkan dalam rangka merealisasikan tujuan-tujuan pergerakan nasional dan prinsip-prinsip revolusi sosialis dengan cara mengembangkan khazanah intelektual klasik yang berdimensikan revolusioner dan berpijak pada kesadaran rakyat.[17]
                        Menurut Suheimi timbulnya pemikiran Kiri Islam Hanafi juga dipengaruhi oleh pengamatannya terhadap gerakan-gerakan Islam revolusioner di Sudan ( Revolusi Al-Mahdi), Libya (Revolusi Sanusiyah) Al-Jazair (Revolusi Islam), Maroko dan tentunya di Mesir (Revolusi jihad Ikhwan) sendiri. Khusus tentang gagasan Islam di Mesir ia menaruh perhatian besar terhadap pemikiran dan aktivisme Sayyid Qutb, pemikiran dan aktivisme disebutnya ‘kiri karena tokoh ini menggalang revolusi melawan kolonialisme-imprealisme barat dan antek-anteknya di Mesir. Qutb juga menyerukan keadilan sosial (al-‘adalah).[18]      

C.   Kiri Islam dan reaktualisasi Khazanah Klasik
            Kiri Islam juga berupaya merekontruksi khazanah klasik Islam. Tujuannya adalah untuk membenagun kembali paradigma ilmu pengetahuan Islam setelah sekian waktu luput dari agenda kehidupan umat Islam. Upaya ke arah itu dinamai Tajdid Turast (Reaktulisasi Khazanah kelmuan Islam) dan cara-cara yang mesti ditempuh dalam upaya ini antara lain:
1. Membuat formulasi yang tepat untuk mengidentifikasi cabang-cabang ilmu pengetahuan yang mungkin terdapat dari teks-teks agama dengan cara pemahaman lewat hipotesa dan uji coba empiris terhadap-terhadap nas-nas yang pengertian lahirnya jelas (muhkamah) atau  lewat penafsiran linguistik dan atau penafsiran perspektif atas nas-nas yang pengertian lahirnya tidak jelas (mutasyabih). pemefsiran-penafsiran itu dilakukan sambil memperhatiakn konteks serta situasi waktu yang melingkupi atau menjadi sebab turunnya teks-teks tersebut. Upaya-upaya semacam ini dapat kita namai dengan logika Tafsir’’ (Mantiq al-Tafsir)  Metode tersenbut juga dapat dinamai dengan metode hermeneutik.[19]
2. Menunjukkan proses kerja akal nalar yang menentukan karakteristik fenomena pemikiran yang berada di balik wujud bangun ilmu pengetahuan klasik. Prose ini merupakan suatu aktifitas akal yang terdapat pada setiap peradapan yang berasal dari sumber pokoknya yaitu wahyu. Dengan pengetahuan tentang hal ini kita dapat merekonstruksi ilmu-ilmu pengetahuan klasik- yang kini sudah beralih nama menjadi Turast, menjadi ilmu-ilmu baru sejalan dengan perkembangan kekinian, sambil tetap melestarikan semangat yang dikandung oleh turats-turast yang  direkonstruksi tersebut. Langkah ini dapat dinamai dengan ‘’Logika Fenomena’’(Mantiq al Zhawahir).[20]
3.  Memilah unsur-unsur mana yang positif dan mana yang negatif dalam setiap cabang ilmu pengetahuan, seraya memahami kerangka teoritis yang dikandung oleh masing-masing unsur, baik yang positif maupun yang negatif. Unsur yang negatif pun mesti dipelajari dan dipahami sumber-sumber kekeliruannya, sebab-sebab kelahirannya, sejauh mana unsur tersebut manjauh dari kebenaran yang diharapkan. Jika telah diketahui mana yang positif dan mana yang negatif, selanjutnya dipilih dan diambil unsur-unsur yang positif dari semuanya. Cara itu dapat kita namai dengan logika penilaian’’ (Mantiq al-Taqyim).
4.  Mentransformasi semua kerangka teoritis yang telah disebutkan terdahulu, setelah sebelumnya dikritis dan disarikan sejalan dengan kerangka teoritis medern agar memuat dimensi-demensi baru, baik dalam aspek kebehasaannya yang merupakan alat pengungkap isi yang dikandung, maupun dalam hal kemempuannya, dalam menyikapi dan menganalisis persoalan-persoalan baru, serta dalam hal kemampuannya memberi materi-meteri pemikiran bagi realitas baru yang berkembang. Langkah terakhir ini dapat kita namai dengan ‘’logika pembaruan’’ (Mantiq al-Tajdid).[21]
                        Dengan demikian reaktualisasi tradisi keilmuan Islam berarti mengaktualkan kembali tradisi keilmuan Islam. Dengan hal tersebut, berati kita selama ini tidak aktual atau tidak sejalan dengan kenyataan yang ada sehingga diperlukan upaya-upaya untuk menjadikannya real  melalui modifikasi atau reformasi.[22]  
                        Dari uraian di atas menurut penulis, semua itu terangkum dalam sebuah ungkapan:                           
 المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح
Melestarikan budaya/metodologi/sesuatu yang kuno tetapi masih relevan dan mengambil sesuatu/metodologi/terobosan baru/langkah inovatif.
                        Dan menurut penulis  الأخذ saja tidak cukup kalau belum ada النقد dalam artian menganalis sesuatu yang baru tersebut kemudian الايجاد  mengadakan temuan baru yang releven sesuai dengan zaman ini.  Itulah semboyan yang selalu disampaikan oleh muballigh ahlussunnah wal jama'ah , terus terang penulis belum mengetahui secara pasti asal muasal kalimat tersebut, apakah hadits/atsar/qaul atau pepatah arab saja.
                        Hal di atas juga diperkuat oleh Azizi yang menurutnya ada beberapa tahapan-tahapan yang harus dilakukan untuk mengembalikan kodrat hukum Islam yakni :
Pertama hukum Islam yang merupakan hasil karya fuqaha masa lalu yang selama ini ditempatkan di satu sisi sebagai doktrin hendaknya ditempatkan pada proporsi yang sebenarnya. Sehingga doktrin yang mungkin dianggap “sakral” tersebut menjadi sesuatu yang “profan” dapat disentuh akal dan diinterpretasi ulang.
Kedua melihat hasil ijtihad tersebut secara kontekstual, sehingga menjadi lebih hidup dan mempunyai nilai. Berbicara mengenai hasil ijtihad, meskipun tetap disebut hukum Islam tentu tidak lepas dari pengaruh subjektivitas pelaku ijtihad berserta lingkungan yang melingkupinya. Oleh karena itu, usaha kontekstualisasi terhadap hasil ijtihad ulama masa lalu mestinya menjadi suatu keharusan. Kajian seperti ini tidak cukup hanya dengan membaca teks dari hasil ijtihad tersebut yang tertulis dalam al-kutub ‘ibrah. Namun harus dibarengi dengan kajian yang serius terhadap aspek sejarah dan sosial yang melingkupi mujtahid ketika itu serta kajian metodologi yang digunakan dalam menghasilkan keputusan hukum Islam. Dalam hal ini, pendekatan sejarah, terlebih sejarah sosial dan sosiologi menjadi sangat penting. Di samping itu, perlu dikaji tentang sejarah hidup para mujtahid terutama sekali yang berkaitan dengan pemikiran hukumnya.[23]
                        Ketiga setelah mampu melakukan kontekstualisasi, barulah akan mampu mengadakan reaktualisasi. Ini harus dilandasi dengan kemampuan interpretasi terhadap hasil ijtihad tersebut dan bukan penolakan terhadapnya. Setelah itu baru dilanjutkan dengan reinterpretasi dan pada waktunya akan ada tuntutan untuk mereformasi terhadap ajaran pada tataran praktis yang merupakan pemahaman para mujtahid terhadap wahyu. Di sini berarti harus terjadi historical continuity dalam mempelajari hokum Islam secara akademik.[24]
                        Keempat perlunya kajian hukum Islam yang melibatkan disiplin ilmu lain atau meneliti hukum Islam yang sudah ada dengan menggunakan pendekatan interdisipliner atau multidisipliner. Ilmu bantu ini mutlak diperlukan dalam rangka mendekatkan hukum pada konteks yang lebih sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat sekarang.   

D.   Kiri Islam[25] dan Teologi Pembebasan
                        Berbicara Ilmu Tauhid merupakan inti dari seluruh pembahasan tentang ilmu kalam. Maka tak asing kalau akhirnya ilmu kalam dinamai ilmu tauhid. Pembahasan utama ilmu ini tak lepas dari itsbat (penetapan) keyakinan kepada Dzat, sifat dan ‘Af’al (perbuatan), semua milik Allah.
                        Ketika Hasan Hanafi membahas ilmu tauhid di dalam buku-bukunya Min al-Aqidah al-Tsawrah vol II, sebenarnya ia sedang mengajak kita untuk merekonstruksi ilmu kalam yang selama ini kita terima kalam tradisional. Tujuan utamanya adalah menformulasikan konsepsi teologi sehingga dapatkondusif menjawab tantangan riil kemanusiaan universal dan kehidupan kontemporer. Hasan hanafi mengusahakan suatu formulasi yang mampu meramu kelebihan yang dimiliki oleh kelompok salaf dan kelompok sekuler, sehingga mengetahui begaimana berbicara dan mengetahui apa yang dibicarakan artinya ia mengungkapkan suatu suatu kerangka teoritis yang dengannya kita tahu substansi pembicaraan yang harus disampaikan.[26]
                        Ilmu kalam yang acap disebut teologi, sebagiman halnya ilmu-ilmu lain, dapat berubah-uabh rumusannya. Dalam memulai upayanya merekonstruksi ilmu tauhid agar menjadi suatu teologi transformatif yang membebaskan, Hasan Hanafi terlebih dahulu merekonstruksi makna’’kata kunci’’ tauhid itu sendiri, yakni kalimat’’Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan Aku berbaksi bahwa Muhammad adalh rasul Allah’’ kalimat itu merupakan titik awal di aman seseorang dinamakan sebagi penganut ajaran Tauhid (Muwahhid).[27]
                        Dengan demikian, kata Hanafi, syahadat tidak hanya berarti berucap atau bersaksi dengan lisan hampa saja, akan tetapi manusia yang mengucapkannya harus hadir di tengah-tengah jama’ahny, menyaksiakan zamannya. Ia mesti lantang dan jujur menyatakan bahwa ada penyakit yang harus disembuhkan, bahwa ada penyelewengan yang harus diluruskan, bahwa kemiskinan di tengah masyarakat yang kaya, bahwa da perampasan atas tanah-tanah kaum muslimin, bahwa ada keterbelakangan di tengah ummat terbaik yang yang dikeluarkan untuk umat manusia.[28]
                        Syahadah  (kesaksian) dan kata syshida menyaksikan. Kata ini mengandung makan: informas, peringatan, penyangkalan, pembekuan, konfirmasi, negasi, bersikap, dan membela kebenaran. Syahadah berarti melihat kondisi dan perkembangan zaman. Orang yang bersyahadah adalh orang mempersaksikan zamannya dengan ucapan dan perbuatanny, memusnahkan kesenjangan antara ide-pikir dan realitas. Menunjukkan jarak antara kalam Allah dan kondisi obyektif masyarakat . Jika kemudian ia mati dalam memperjuangkan tujuan-tujuan itu, mak ia mati syahid.[29]        
                        Selain itu, secara praktis, teologi tidak bisa menjadi pandangan yang benar-benar hidup yang memberi motivasi tindakan dalam kehidupan konkrit manusia. Sebabnya, penyusunan teologi tidak didasarkan atas kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia sehingga muncul keterpecahan antara keimanan teoritik dan keimanan praktis dalam umat. Pada akhirnya, keterpecahan itu melahirkan sikap-sikap moral ganda atau sinkretisme kepribadian. Fenomena sinkretik ini tampak jelas, menurut Hanafi, dengan adanya faham keagamaan dan sekularisme (dalam kebudayaan), tradisionalisme dan modernisme (dalam peradaban), Timur dan Barat (dalam politik), konservatisme dan progresivisme (dalam sosial) dan kapitalisme dan sosialisme (dalam ekonomi).[30]
                        Karena menganggap bahwa teologi Islam tidak ilmiah dan tidak membumi, Hanafi mengajukan konsep baru tentang teologi Islam. Tujuannya untuk menjadikan teologi tidak sekedar sebagai dogma keagamaan yang kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan keimanan berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia. Karena itu, gagasan-gagasan Hanafi yang berkaitan dengan teologi berusaha untuk mentranformulasikan teologi tradisional yang bersifat teosentris menuju antroposentris, dari Tuhan kepada manusia (bumi), dari tekstual kepada kontekstual, dari teori kepada tindakan, dan dari takdir menuju kehendak bebas. Pemikiran ini, minimal, di dasarkan atas dua alasan. Pertama, kebutuhan akan adanya sebuah ideologi (teologi) yang jelas di tengah pertarungan global antara berbagai ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru yang bukan hanya bersifat teoritik tetapi sekaligus praktis dan bisa mewujudkan sebuah gerakan dalam sejarah.[31].
                        Untuk mengatasi kekurangan teologi klasik yang dianggap tidak berkaitan dengan realitas sosial, Hanafi menawarkan dua teori.
Pertama, analisa bahasa. Kita tahu, bahasa dan istilah-istilah dalam teologi klasik adalah warisan nenek moyang dalam bidang teologi yang khas yang seolah-olah sudah menjadi doktrin yang tidak bisa diganggu gugat. Menurut Hanafi, istilah-istilah dalam teologi sebenarnya tidak hanya mengarah pada yang transenden dan ghaib, tetapi juga mengungkap sifat-sifat dan metode keilmuan yang empirik-rasional (seperti iman, amal dan imamah), yang historis (seperti nubuwwah) dan yang metafisik (seperti Tuhan dan akhirat).
Kedua, analisa realitas. Menurut Hanafi, analisa ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi di masa lalu dan bagaimana pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat atau para penganutnya. Selanjutnya, analisa realitas berguna untuk menentukan stressing bagi arah dan orentasi teologi kontemporer.[32]
                        Untuk melandingkan dua usulannya tersebut, Hanafi palingtidak menggunakan tiga metode berfikir; dialektika, fenomenologi dan hermeunetik.
                        Dialektika adalah metode pemikiran yang didasarkan atas asumsi bahwa perkembangan proses sejarah terjadi lewat konfrontasi dialektis dimana tesis melahirkan antitesis yang dari situ kemudian melahirkan sintesis. Hanafi menggunakan metode ini ketika, sebelumnya, menjelaskan tentang sejarah perkembangan pemikiran Islam. Juga ketika Hanafî berusaha untuk membumikan kalam yang dianggap melangit. Apa yang dilakukan Hanafi terhadap kalam klasik ini sama sebagaimana yang dilakukan Marx terhadap pemikiran Hegel. Menurut Marx, pemikiran Hegel berjalan dikepalanya, maka agar bisa berjalan normal ia harus dijalankandiatas kakinya.[33]Artinya, kalam klasik yang terlalu theosentrisharus dipindah menjadi persoalan ‘material’ agar bisa berjalan normal. Namun demikian, bukan berarti Hanafi terpengaruh atau mengikuti metode dialektika Hegel atau Marx. Hanafi menyangkal jika dikatakan bahwa ia terpengaruh atau menggunakan dialektika Hegel atau Marx. Menurutnya, apa yangdilakukan semata didasarkan dan diambil dari khazanahkeilmuan dan realitas sosial muslim sendiri; persoalan kaya-miskin, atasan-bawahan dan seterusnya yang kebetulan samadengan konsep Hegel maupun Marx. Hanafi sendiri juga mengkritik secara tajam metode dialektika Marx yang dinilai gagal memberi arahan kepada kemanusiaan, karena akhirnya yang terjadi justru totalitarianisme.[34]
                        Di sini mungkin ia terilhami oleh inspirator revolosi sosial Iran; Ali Syariati, ketika dengan metode dialektikanya Syariati menyatakan bahwa manusia adalah syntesa antara ruh Tuhan (tesa) dan setan (anti-tesa). Fenomenologi adalah sebuah metode berfikir yang berusaha untuk mencari hakekat sebuat fenomena atau realitas. Untuk sampai pada tingkat tersebut, menurut Husserl (1859-1938) sang penggagas metode ini, peneliti harus melalui minamal dua tahapan penyaringan (reduksi); reduksi fenomenologi dan reduksi eidetis. Pada tahap pertama, atau yang disebut pula dengan metode apoche, peneliti menyaring atau memberi kurung terhadap fenomena-fenomena yang dihadapi. Peneliti mulai menyingkirkan persoalan-persoalan yang dianggap tidak merupakan hakekat dari objek yang dikaji. Tahap kedua, reduksi adetis, peneliti masuk lebih dalam lagi. Tidak hanya menyaring yang fenonemal tetapi menyaring intisarinya.[35]

E.   Kiri Islam dan Oksidentalisme
                        Sejak awal Al-Afghani – bahkan masa-masa perang Salib sampai saat ini, imperialisme tetap merupakan isu terpenting yang dihadapi oleh dunia Islam. Walaupun dalam berbagai ragam wujud, namun pada dasarnya imperialisme, menurut Hanafi, adalah ‘’Perang Salib Baru’’. Di bidang ekonomi, imperialisme[36] saat  ini muncul dalam bentuk korporasi multinasional. Sementara dalam sektor budaya, imperialisme muncul dalm bentuk pemberatan sebagi upaya pembunuhan semangat kreativitas bangsa dan pencabutan suatu bangsa dari akar-akar kesejarahannya.[37]
                        Salah satu misi Kiri Islam, seperti dikatakan Hanafi, adalah membengun sistem politik nasional yang independen, dan mempererat jalinan persahabatan dengan bangsa-bangsa Asia dan Afrika, yakni bangsa-bangsa Islam. Selain itu juga mendukung gerakan revolusioner kaum terjajah dan tertindas. Karena seseungguhnya Islam hadir untuk mereka.[38]                          
                        Bagi Hanafi, imperialisme kultural merupakan budaya paling serius bagi dunia Islam. Barat ingin melemahkan kultur bangsa-bangsa Islam, lalu membelennggu kemampuan kreatif mereka, dan akhirnya mengubah kebudayaan mereka begitu rupa menjadi agar dapat dimasukkan  ke dalam ‘’musium kebudayaan’’ dan mudah untuk didominasi.[39]
                        Seruan Hasan Hanafi tentang kri Islam untuk membebaskan kebudayaan umat Islam dan bangsa-bangsa muslim dari penjajahan budaya asing (Barat) ia tindaklanjuti, antara lain, dengan menerbitkan bukunya setebal 800 halaman lebih, Muqoddimah fi’Ilmi al-Istigrab (pengantar tentang Oksidentalisme). Seperti dikatakan Hasan Hanafi, oksidentalisme merupakan lawan bagi orientalisme.[40]
                        Lahirnya oksidentalisme dilatarbelakangi oleh keprihatianan Hanafi atas keterbelakangan dunia Islam selama ini. Hanafi gelisah melihat perkembangan umat Islam ( dan Dunia Timur) pada umumnya terhegemoni, terdominasi peradaban Barat dan semakin rapuhnya tradisi klasik Islam di Dunia Islam.
                        Melalui Oksidentalisme, Timur mempelajari dan memahami Barat. Bila dalam kajian Orientalisme, Timur dan Islam dijadikan Objek, maka dalam kajian Oksidentalisme Baratlah yang dijadikan objek. Dengan logika itu, Oksidentalisme bertujuan mengikis ‘ egosentrisme Barat’ yang berlebihan terhadap Timur dan Dunia Islam. Barat juga diharapkan tidak lagi selalu menjadi subjek sementara Timur dan Islam dijadikan objek. Dengan cara demikian Barat tidak lagi merasa benar sendiri, dan yang lain salah. Barat bersifat objektif, superior, maju. Beradab sementara Timur dan Islam subjektif, inferior, terbelekang dan biadab.[41]           
                        Di Indonesia, wacana Oksidentalisme terlambat diperkenalkan kepada komunitas intelektual, jadi kita terlambat mengadopsi suatu perkembangan pemikiran penting di dunia Muslim (Arab). Terlambat setidaknya dua dekade wacana Oksidentalisme di negeri kita baru dikenal setelah kedatangan Hanafi di Indonesia pada tahun 2000 dan terbitnya terjemahan karya pemikir ini berjudul ‘Oksidentalisme Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat.
                        Karya intelektual raksasa ini mencakup tiga hal pokok; 1. Sikap kita terhadap tradisi lama; 2. Sikap terhadap tradisi Barat; 3. Sikap kita terhadap realitas. Dalam menjelaskan agenda yang kedua, ‘’Sikap Kita terhadap Tradisi Barat’’, Hanafi menilai ada tiga persoalan pokok yang harus dikaji serius. Pertama, sumber peradaban Eropa. Di sini diteliti faktor-faktor atau tradisi peradaban apakah yang menjadi dasar pemikiran dan pefilsafat pembentukan peradaban Eropa. Bagaimana misalnya kontribusi warisan peradaban Yunani-Romawi, peradaban Yahudi dan Kristen serta peradaban lain (misalnya, warisan Timur kuno) sejak awal abad I hingga abad XIV.[42]
                        Kedua,  Hanafi mengkaji proses bagaimana kesadaran Eropa muncul khususnya pada zaman Reformasi Protestan abad XV-XVI pada zaman Rasionalisme Cartesian di abad XVII serta zaman pencerahan abad XVIII. Akhir kesadaran Eropa diyakini Hanafi dimulai dari munculnya filsafat ‘’ saya berfikir’’ menjadi ‘’Saya ada’’. Di fase Histori sini, kesadaran Eropa melakukan otokritik terhadap masa lampaunya, hasil karya peradabannya, kritik terhadap idealisme dan positivisme serta ditemukannya ‘’jalan ketiga’’ dan fenomenologi.[43]               
     
3.      Simpulan
            Dunia Islam saat ini telah terkooptasi oleh Barat, baik sistem, kepentingan, struktur maupun kultur. Hal ini sebagai dampak kolonialisme dan imperialisme. Masyarakat Islam punya ketergantungan yang sangat besar terhadap Barat. Dunia Barat berusaha meng-’hegemoni’ kultur Islam, termasuk tentang Islam itu sendiri. Barat mengupayakan pemahaman Islam versi Barat, supaya dapat diterima oleh dunia Islam. Itulah cara Barat untuk mencabut lebur akar sejarah Islam dari sumber aslinya, Alquran dan Hadis.
            Merespon kondisi tersebut, Hasan Hanafi dengan Kiri Islamnya sangat menentang peradaban Barat, khususnya imperialisme ekonomi dan kebudayaan. Hasan Hanafi memperkuat umat Islam dengan memperkokoh tradisinya sendiri. Karena itu, tugas Kiri Islam yang merupakan salah satu gagasan progressifnya adalah: Pertama, melokalisasi Barat pada batas-batas alamiahnya dan menepis mitos dunia Barat sebagai pusat peradaban dunia serta menepis ambisi kebudayaan Barat untuk menjadi paradigma kemajuan bagi bangsa-bangsa lain. Kedua, mengembalikan peradaban Barat pada batas-batas kebaratannya. asal-usulnya, kesesuaian dengan latar belakang sejarahnya, agar Barat sadar bahwa terdapat banyak peradaban dan banyak jalan menuju jalan kemajuan. Ketiga, Hasan Hanafi menawarkan suatu ilmu untuk menjadikan Barat sebagai objek kajian, yakni sebagaimana yang dia tulis dalam Muqaddimah fî ‘Ilm al-Istighrâb (Pengantar Oksidentalisme). Oksidentalisme bagi Hasan Hanafi merupakan suatu upaya menandingi Orientalisme dan meruntuhkannya hingga ke akar-akarnya. Untuk mengembalikan citra Islam, ia memberikan jalan dengan melakukan reformasi agama, kebangkitan rasionalisme dan pencerahan.
  
Daftar Pustaka
A. Azizy Qodri. 2003. Reformasi Bermazhab (Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Sesuai Saintifik) Modern. Jakarta : Teraju.
Badruzaman Abad. 2005. Kiri Isalm Hasan Hanafi Menggugat Kemapanan           Agama Dan Politik. Yogyakarta. PT. Tiara Wacana Yogya..
Campbell, David, 2007. Poststructuralism, in Tim Dunne, Milja Kurki & Steve Smith            eds International Relations Theories, Oxford University Press, hlm. 203-228
Harahap Syahrin  dkk. 2003. Eksiklopedi Islam, cet. I; Jakarta: Kencana
Ridwan. 1998. Reformasi intelektual Islam, pemikiran Hasan Hanafi tentang          reaktualisasi tradisi keilmuan Islam,. Yogyakarta: ITTAQO
Santoso. Listiyano. dkk. 2009. Epistimologi Kiri. Jogjakarta.AR-RUZZMEDIA.
Shimogaki. Kazuo  2000. Kiri Islam Antra Modernisme Dan Post  Modernisme Kajian Kritis Atas Pemikiran Hasan Hanafi. Yogyakarta. LkiS Yogyakarta
Suhelmi Ahmad. 2001. Dari Kanan Islam Hingga Kiri Islam.  Jakarta Timur: Darul Falah.   
Bertens. 1996. Filsafat Abad XX Prancis. Jakarta: Gramedia. Hlm. 235; Berten. 1983 Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogya: Kanisius



                [1] Hasan hanafi adalah pemikir Muslim asal Mesir, kita mafhum Mesir merupakan bagian dunia Islam yang termasuk paling awal mengalami Islamisasi, sejak Amr Bin Ash abad VII.
                [2] Listiyano santoso.dkk. 2009. Epistimologi Kiri. Jogjakarta.AR-RUZZMEDIA. Hlm. 267.
                [3] Ibid. hlm. 267. Pada tahun 1952, setelah lulus dari Madrasah Tsanawiyah, Hanafi melanjutkan studi di Jurusan Filsafat Universitas Kairo. Hanafi lulus dan menyandang gelar sarjana muda pada tahun 1956. Setelah itu ia melanjutkan studi ke Universitas Sorbone, Prancis. Pada tahun 1966, Hanafi berhasil menyelesaikan program Master dan Doktornya sekaligus dengan tesis berjudul Les Methodes d’Exegeses: Essei sur La Science des Fondaments de La Conprehension Ilmu Ushul Fiqh dan desertasi L’Exegeses de la Phenomenologie, L’etat actuel de la Methode Phenomenologie et son Application au Phenomene Religieux, merupakan karya filsafat yang monomental, bahkan karya setebal 900 halaman itu mendapat penghargaan sebagi penulisan karya ilmiah terbaik di mesir pada tahun 1961. Karir akademiknya dimulai tahun 1967 ketika diangkat sebagai Lektor, kemudian Lektor Kepala (1973), dan Profesor Filsafat (1980) pada Jurusan Filsafat Universitas Kairo. Ia pun diserahi jabatan sebagai Ketua Jurusan Filsafat pada Universitas yang sama. Selain itu, Hanafi juga aktif memberi kuliah di beberapa negara, seperti Perancis (1969), Belgia (1970), Temple University Philadelpia AS (1971-1975), Universitas Kuwait (1979) dan Universitas Fez Maroko (1982-1984). Selanjutnya Hanafi diangkat sebagai guru besar tamu di Universitas Tokyo (1984-1985), Persatuan Emirat Arab (1985), dan penasehat program pada Universitas PBB di Jepang (1985-1987). http://ush.sunan-ampel.ac.id/?p=1582. 19.00 wib. diakses selasa 11. 12. 12.
                [4] Beliau mempunyai karya tafsir Fi Dzilalil Al-Qur’an, yang mempengaruhi banyak aktifis di dunia Islam. Khususnya bagi aktifis Ikhwanul Muslimin dan berbagai orgnisasi yang menjadikannya sebagai model pergerakan Islam. Tafsir sudah diterjemah ke dalam bahasa indonesia.   
                [5]  Listiyano santoso.dkk. loc. Cit. hlm. 268.
                [6]  Post-strukturalisme yaitu merupakan pemikiran baru berakar dari strukturalisme itu sendiri. Jika strukturalisme bertujuan mendalami konstruksi sosial dan budaya dengan struktur berbeda untuk memberi arti pada apa yang ada dalam hidup kita sehari-hari, post-strukturalisme adalah suatu cara analisa bagaimana struktur memproduksi arti secara konsisten dengan transformasi cara-cara pemberian perintah sosial pada akhir abad 20. Campbell, David, 2007. Poststructuralism, in Tim Dunne, Milja Kurki & Steve Smith eds International Relations Theories, Oxford University Press, hlm. 203-228.
             [7] Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Ilmu fenomonologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan ilmu hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari arti daripada fenomena ini. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert (1728 - 1777), seorang filsuf Jerman. Dalam bukunya Neues Organon (1764). ditulisnya tentang ilmu yang tak nyata. Dalam pendekatan sastra, fenomenologi memanfaatkan pengalaman intuitif atas fenomena, sesuatu yang hadir dalam refleksi fenomenologis, sebagai titik awal dan usaha untuk mendapatkan fitur-hakekat dari pengalaman dan hakekat dari apa yang kita alami. G.W.F. Hegel dan Edmund Husserl adalah dua tokoh penting dalam pengembangan pendekatan filosofis ini. http://id.wikipedia.org/wiki/Fenomenologi. diakses 09.00 wib. 17. 12. 12.
                [8] Dalam softwere KBBI eksistensialisme adalah aliran filsafat yg pahamnya berpusat pd manusia individu yg bertanggung jawab atas kemauannya yg bebas tanpa mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar.
                [9]  Alim. Ruswantoro. 2001. ‘’studi Oksidentalisme: mempertimbangkan Hasan Hanafi’’, dalam MuhiddinM. Dahlan. Postkolonialisme, Sikap Kita Terhadap Imperialisme. Yogyakarta: Jendela hlm. 54.
                [10] Pengertian semiotika secara terminologis adalah ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Menurut Eco, semiotik sebagai “ilmu tanda” (sign) dan segala yang berhubungan dengannya cara berfungsinya, hubungannya dengan kata-kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya. http://bahasa.kompasiana.com/2012/04/13/analisa-semiotika/. diakses 09.30 wib. 17. 12
                                        [11] Muhammad Mustafied. 2000. Merancang Ideologi Gerakan Islam pROgesif-Transformatif: memprtimbangkan Kiri Islam. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Hlm. 173 
                [12]  Abad Badruzaman. 2005. Kiri Isalm Hasan Hanafi Menggugat Kemapanan Agama Dan Politik. Yogyakarta. PT. Tiara Wacana Yogya. Hlm. 45- 56
[13]  Sayyid Jamal al-Din al-Afghani merupakan seorang tokoh pembaharuan yang hidup pada abad ke-19 M. Pemikirannya tertumpu kepada usaha untuk mengembalikan kegemilangan umat Islam yang ketika itu berada di bawah cengkaman penjajah. Sumbangannya banyak, antaranya dalam bidang politik apabila beliau menganjurkan pembentukan konsep Pan-Islam kepada masyarakat.Menurut Nikki R.Keddie, al-Afghani telahmenghabiskan banyak usianya dalamaktiviti politik berbanding dengan aktiviti lain seperti pembaharuan dalam hal keagamaan yang turut mendapat tempat dalampemikiran beliau. Ini membawa maksud, pembaharuan dalam bidang politik seperti mewujudkan kesatuan politik dan pembentukan serta pengukuhan kekuatan dalam dunia Muslimdanmenamatkan penjajahan Barat merupakan satu keutamaan kepada al-Afghani.
                [14]  Kazuo Shimogaki. 2000. Kiri Islam Antra Modernisme Dan Post  Modernisme Kajian Kritis Atas Pemikiran Hasan Hanafi. Yogyakarta. LkiS Yogyakarta. Hlm. 85.
                [15]  Ahmad Suhelmi. 2001. Dari Kanan Islam Hingga Kiri Islam.  Jakarta Timur: Darul Falah.         Hlm.202.
                [16]  Marxisme adalah sebuah paham yang mengikuti pandangan-pandangan dari Karl Marx. Marx menyusun sebuah teori besar yang berkaitan dengan sistem ekonomi, sistem sosial, dan sistem politik. Pengikut teori ini disebut sebagai Marxis. Marxisme mencakup materialisme dialektis dan materialisme historis serta penerapannya pada kehidupan sosial. http://id.wikipedia.org/wiki/Marxisme diakses 19.30, 17.12.12
                [17]  Listiyano santoso.dkk. Op.Cit. hlm. 277-278
                [18]  Ahmad Suhelmi. Op.Cit. hlm. 204.
                [19] Abad Badruzaman. 2005. Kiri Isalm Hasan Hanafi Menggugat Kemapanan Agama Dan Politik. Yogyakarta. PT. Tiara Wacana Yogya. Hlm. 74
                [20] Abad Badruzaman. lbid. hlm. 75
                [21]  Abad Badruzaman. Loc. Cit. hlm. 76-78
                                [22] . Ridwan. 1998. Reformasi intelektual Islam, pemikiran Hasan Hanafi tentang reaktualisasi tradisi keilmuan Islam,. Yogyakarta: ITTAQO. 25-26.
                [23]  A. Qodri A. Azizy. 2003. Reformasi Bermazhab (Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Sesuai Saintifik) Modern. Jakarta : Teraju.  Hlm.73-74
                [24] A. Qodri A. Azizy. Ibid . hlm. 75
                [25] Perlu diketahui kiri Islam Hanafi ternyata sejalan dengan prinsip Al-Ushusl al-Khamsah yang jadi ciri khasnya Mu’tazilah, Al-Ushul al-Khamsah:  pertama, Al-Tauhid, peng-Esa-an Tuhan yang merupakan inti paham Muktazilah; maksudnya pemurnian esensi Tuhan; Tuhan tidak memiliki sifat-sifat. Lebih lanjut, Washil bin Atha’ mengatakan kepada Tuhan tak mungkin diberikan sifat yang mempunyai wujud tersendiri yang melekat pada Zat Tuhan. Karena Zat Tuhan bersifat qadim. Dengan demikian, sifatpun bersifat qadim oleh karena itu untuk memelihara murninya Tauhid atau kemaha-Esa-an Tuhan tidak boleh dikatakan mempunyai sifat. kedua, Al-‘Adl, prinsip keadilan Tuhan. Al-‘adlu dalam pemahaman Muktazilah secara bahasa dikelompokkan dalam dua hal, yang dinisbahkan kepada kata kerja yaitu semua perbuatan baik yang bermanfaat kepada pelaku atau selainnya, dan yang dinisbahkan kepada pelaku, yaitu bahwa tuhan hanya melakukan hal yang baik dan tidak dipantaskan bagi-Nya perbuatan-perbuatan buruk.  Al-Ushul al-Khamsah ketiga, al-Wa’ad wa al-Wa’id, prinsip janji dan ancaman. Muktazilah berkeyakinan bahwa janji berupa balasan kebaikan dan ancaman berupa siksaan tidak mustahil diturunkan. Janji Allah tentang pahala atas kebaikan akan terjadi, janji siksaan atas kejahatan juga akan terjadi. Al-Ushul al-Khamsah keempat, al-Manzilah Baina al-Manzilatain, biasa juga disebut al-Ismu Baina al-Ismain, al-Hukmu Baina al-Hukmain, yang diberi pengertianposisi diantara dua tempat. Uraian ini berkenaan dengan penjelasan penulis sebelumnya tentang orang yang berbuat maksiat yang ditempatkan diantara orang yang beriman dengan orang yang kafir. Dijelaskan pula posisi mukallaf tidak pada hal ini, diberi pahala jika dekat terhadap Tuhan dan ‘iqab jika musuh Tuhan. Al-Ushul al-Khamsah kelima, al-Amr bi al Ma’ruf wa an-Nahy ‘an al-Munkar, prinsip menyuruh berbuat baik dan melarang kemungkaran. Muktazilah menetapkan bahwa semua muslim wajib melakukan upaya tersebut untuk menyiarkan dakwah Islam. Syahrin Harahap dkk. 2003. Eksiklopedi Islam, cet. I; Jakarta: Kencana.
                [26]  Abad Badruzaman. Loc. Cit. hlm. 108.
                [27]  Ibid. hlm. 112
                [28]  Ibid.
                [29] Ibid. 113
                [30]  Ridwan. Op.Cit. hlm.45.
                [31]  Ibid. hlm.  
       [32]  http://ush.sunan-ampel.ac.id/?p=1582 di akses 20.00. 17.12.12
                [33] Bertens. 1996. Filsafat Abad XX Prancis. Jakarta: Gramedia. Hlm. 235; Berten. 1983 Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogya: Kanisius. Hlm. 80
                [34] Ridwan. 1998. Reformasi Intelektual Islam. Yogya: Ittaqa Press. hlm. 44-5.
                [35] Contoh dari operasional Teologi Hanafi yaitu sifat mukhâlafah li al-hawâdits (berbeda dengan yanglain) dan qiyâm binafsih (berdiri sendiri), keduanya tuntunanagar umat manusia mampu menunjukkan eksistensinya secaramandiri dan berani tampil beda, tidak mengekor atau taqlid padapemikiran dan budaya orang lain. Qiyam binafsih adalahdeskripsi tentang titik pijak dan gerakan yang dilakukan secaraterencana dan dengan penuh kesadaran untuk mencapai sebuah tujuan akhir, sesuai dengan segala potensi dan kemampuandiri. Hanafi, Min al-Aqîdah ila al-¤aurah. II  p. 600 dan seterusnya. Hlm. 143-303
                                                [36]  Sistem politik yg bertujuan menjajah negara lain untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan yg lebih besaratau kebudayaan Antara  pandangan mengenai adanya kebudaya-an asing yg lebih kuat yg mendominasi suatu golongan masyarakat sehingga warganya kehilangan kepribadian dan identitasnya
                [37] Kazuo Shimogaki. Op.Cit. hlm. 122.123
                [38]  Ibid. hlm. 129.
                [39]  Ibid. hlm. 37.
                [40]  Abad Badruzaman. Loc. Cit. hlm. 159
                [41] Ahmad Suhelmi. Op.Cit. hlm. 211.
                [42]  Ibid. hlm. 210.
                [43]  Ibid.hlm. 211.

Pengikut