KONTEKSTUALISASI KITAB KUNING
Di Tengah Realita Modernisasi Pesantren
Seiring dengan semakin berkembangnya pesantren-pesantren yang mengatasnamakan pesantren modern atau pesantren terpadu kembali mencuat di benak kita semua “ apakah ciri khas pesantren yang fundamental sudah usang? ( ciri khas pesantren yang dimaksud adalah pengajaran kitab kuning di pesantren). Terlepas dari usang atau tidaknya kitab kuning di pesantren-pesantren modern, tetapi kenyataan yang tak bisa di pungkiri adalah manfaat dari kitab kuning itu sendiri sehingga dianggap sangat penting. Karena perkembangan ilmu pengetahuan bersifat historis, kitab kuning ini juga merupakan dari ilmu pengetahuan, bentuk interpretasi dan kontektualisasi ajaran Islam yang termaktub dalam Al Quran dan Al Hadist, pemikiran ulama sepanjang abad di seluruh belahan dunia islam. Karena itu, dalam ukuran masyarakat kita, khususnya dikalangan Nahdlatul Ulama (NU), seseorang tidak mungkin mendapat gelar ulama atau kiyai tanpa menguasai kitab kuning.
Dalam konteks ini, pesantren sebagai lembaga pendidikan mempunyai watak utama, yaitu sebagai lembaga pendidikan yang memiliki ciri-ciri khas. Karena, pesantren memiliki tradisi keilmuan yang berbeda dengan tradisi keilmuan lembaga-lembaga lainnya, seperti universitas. Salah satu ciri utama pesantren sebagai pembeda dengan lembaga pendidikan lain, adalah pengajaran kitab kuning, kitab-kitab islam klasik yang di tulis dalam bahasa arab baik yang ditulis oleh para tokoh muslim arab maupun para pemikir muslim Indonesia.
Secara keseluruhan, kitab kuning yang diajarkan dalam pesantren dapat dikelempokan dalam delapan bidang kajian ; Fikih dan Ushul Fikih, Nahwu, Sharaf dan Balaghoh, Tafsir dan Ulumul Qur’an, Hadist, Tauhid, Tasawuf dan Tarikh. Teks kitab-kitab ini ada yang sangat pendek, ada juga yang berjilid-jilid. Kitab kuning ini dapat digolongkan dalam tiga tingkat, yaitu: kitab tingkat dasar, kitab tingkat menengah dan kitab tingkat atas. Dan kalau dilihat macamnya kitab kuning dapat dibagi dalam dua macam:
Pertama, Al kutub al Qodimah ( kitab klasik salaf). Semua kitab ini merupakan produk ulama pada sebelum abad ke-19 M. ciri-ciri umumnya, Pertama, bahasa pengantar sentuhnya bahasa klasik, terdiri atas sastra lirik (nadzam) atau prosa lirik (nastar). Kedua, tidak mencantumkan tanda baca, seperti koma, titik, tanda seru, tanda Tanya dan sebagainya. Ketiga, tidak mengenal pembabakan alinea atau paragraf. Sebagai penggantinya adalah jenjang uraian seringkali disusun dengan kata kitabun, babun, faslun, dan lain-lain. Keempat, isi kandungan kitab banyak berbentuk duplikasi dari karya ilmiah ulama sebelumnya. Kitab sumber diperlukan sebagai matan, yang dikembangkan menjadi resume (mukhtashor atau khulashoh ). Kelima, khusus kitab salaf yang yang beredar di pesantren si pengarang harus tegas berafiliasi dengan madzhab, terutama madzhab empat.
Kedua, al kutub al ‘ashriyah. Kitab-kitab ini merupakan produk ilmiah pada pasca abad ke-19 M. ciri-cirinya, pertama, bahasanya diremajakan atau berbahasa popular dan diperkaya dengan idiom-idiom keilmuan dari disiplin non-syar’i. pada umumnya karangan berbentuk prosa bebas. Kedua, teknik penulisannya dilengkapi dengan tanda baca ( harkat, titik, koma, dll). Ketiga, sistematika dan pendekatan analisisnya terasa sekali di pengaruhi oleh ilmu pengetahuan umum pada zamannya. Keempat, isi karangan merupakan hasil study literatur yang merujuk pada banyak buku dan seringkali tidak ada keterikatan dengan faham atau madzhab tertentu. Kelompok kedua inilah yang kitabnya biasanya di sebut dengan “ kitab putih” atau kitab yang digunakan di pesantren-pesantren modern.
Memang, baru-baru ini muncul gugatan dari beberapa kelompok maupun individu terhadap status kemuktabarahan kitab kuning, mereka beranggapan bahwa kitab kuning dianggap telah menutup akses modernisasi pesantren ( penggunaan kitab putih). Tentu saja pernyataan ini tidak benar, mengapa demikian? Karena kitab kuning di pesantren merupakan kitab pokok yang harus dikuasai, ini terlihat dari jenis penulisan kitab, metode pengajaran kitab (thuruqut tadris), otoritas kitab, juga historical pesantren yang sejak dari dulu mengajarkan kitab kuning kepada generasinya. baru setelah itu boleh mempelajari kitab putih sebagai kitab anjuran. Kalau di perguruan tinggi ada yang dinamakan buku wajib dan buku penunjang tetapi pesantren tidak mengistilahkan sepeerti itu, kalangan pesantren memiliki pengetahuan yang lebih komprehensif tentang agama, karena mereka mengetahui perkembangan ajaran agama baik dikalangan santri (pelajar) maupun masyarakat. Bagi mereka yang tidak mengetahui perkembangan tersebut maka cenderung cupet pemikiran dan fanatic. Sifat seperti inilah yang seharusnya ditanggapi dengan arif dan bijak oleh pengendara dan pemerhati pesantren di Indonesia.
Untuk itu pihak dari pesantren seyogiyanya menganalisis dan mencermati conten dari kitab kuning itu sendiri, sehingga bisa untuk menjawab pantangan dari zaman yang penuh dengan berbagai tekonogi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar